Brama
Woy, Arab! Di mana lo?Digo mendengkus singkat dan kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku celana seragam, sengaja mengabaikan pesan instan dari sang sahabat. Kemudian diisapnya dalam-dalam rokok seraya menelisik bodi motornya yang kini teronggok di parkiran apartemen setelah diderek dari sekolah.
Huh, Digo bangkit dari posisi jongkok dan menyandarkan punggungnya pada tiang. Banyak hal yang dilalui sore tadi. Mulai dari mengalami jebakan musuhnya hingga hampir mati jika tidak lari bersembunyi. Namun oleh sebab itu pula tercipta satu momen yang sulit dilupa, yang juga sulit enyah dan justru meletup-letup di dada. Di mana Digo hampir saja mencium guru Biologinya. Ya, hampir. Sebab kemudian dia tersadar sendiri bahwa suasana dramatis itu diciptakan oleh sang malam sepi. Untunglah realita secepatnya datang mengusik, sehingga momen memalukan tidak sampai terjadi.
Setelah menyentil puntung rokoknya, Digo berlalu meninggalkan parkiran dan naik ke apartemen. Biarlah urusan perbaikan ban motor lain waktu ditangani. Saat ini, Digo benar-benar membutuhkan air untuk membersihkan diri sekaligus menenangkan gejolak jiwanya.
Digo keluar cepat saat pintu lift sudah terbuka. Mendekati pintu apartemen, dia mendengkus malas mendapati sesosok pria lain yang akhir-akhir ini rajin menjenguknya.
"Dengan lo over kayak gini, gue jadi curiga kalo income di kantor lo kurang banyak," sindir Digo sambil menekan angka sandi pintu apartemen. Menyadari pria di depannya melemparkan tatapan tidak mengerti, dia lalu melanjutkan, "Kayak Om Iyan lo, lama-lama."
"Sembarangan," tampik sang pria seraya ikut masuk dan menutup kembali daun pintu. "Harusnya lo yang ge'er, gue masih peduli sama lo."
Digo tertawa masam sambil melemparkan ransel hitamnya ke atas sofa, lantas melangkah ke dapur. Semenit kemudian dia kembali dengan dua kaleng bir.
"Sebagai salah satu orang yang berada di pihak Bokap, harusnya lo juga ge'er disuguhin minum sama gue," balas Digo kemudian sambil menyodorkan salah satunya ke atas meja.
"Makasih," sambut sang pria, masih setia dengan posisi bersedekap di sofa. "Gue masih pengen idup lama."
Digo ikut duduk bersandar dengan kedua kaki berselonjor di atas meja. "Sampe sekarang gue belom pernah denger tuh ada kasus manusia mati gara-gara minum satu kaleng bir."
"Ya emang belom ada. Tapi kalo kebanyakan juga bakal mulusin jalan lo biar cepet ketemu Tuhan!"
"Gue nyodorin itu doang ke elo, bukan isi kulkas gue!"
"Gue ngomongin lo!"
"Waaah," kali ini, Digo tertawa sarkastis sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Dibayar berapa lo sama Bokap gue?"
Hening. Sang lelaki di hadapannya tampak menatapi wajah Digo dengan geram. "Bisa nggak lo sekali aja nggak pake ngajak berantem?"
Digo meneguk birnya, alih-alih menjawab.
"Dari mana lo baru pulang jam segini?!"
Kontan, Digo menatap lurus pria itu. "Lo sendiri minta nggak usah berantem, tapi jawaban gue buat pertanyaan lo udah pasti bikin berantem," tukasnya tajam.
"Nggak bakal berantem kalo lo baru balik dari rumah lo!"
"Gua nggak bakal balik ke rumah. Bilangin ke Bokap, jangan paksa gue!" tukas remaja itu lagi.
"Kenapa, sih?!"
"Jauh."
Ada gelengan tidak paham dari depan. "Bokap lo udah nyediain sopir sama pengawal khusus buat lo ke mana-mana. Apa susahnya sih nurut?"

KAMU SEDANG MEMBACA
UNTOUCHED
Fanfiction"Sometimes we have to get through the dark to appreciate the beautiful light."