Lagi, dibacanya daftar absensi murid di kelas yang diajarnya pagi ini. Lirikan kedua mata Sisi kemudian tertuju pada satu bangku di sudut kelas yang tidak ditempati. Lantas, kilasan adegan demi adegan perkelahian pagi tadi menyelinap di kepalanya. Dibuangnya napas panjang seraya duduk dan bersandar di bangku guru. Kini semakin disadari oleh wanita itu jika siswa bermata tajam bernama Airlangga Digo Daniswara adalah satu dari dua siswa pembuat onar di sekolah ini.
Dari track record yang Sisi ketahui sejauh ini, teman Digo tidak begitu banyak. Dia hanya punya satu sahabat karib yang menemaninya ke mana-mana. Nama sabahatnya itu Brama, juga seeorang murid di kelas ini. Namun, Digo memiliki cukup banyak pengikut setia. Hampir puluhan orang dan semuanya laki-laki. Mereka bahkan telah membentuk sebuah geng.
Para pengikut Digo ini sebenarnya bukan anak bermasalah seperti dirinya, hanya siswa sekolah yang cukup baik dengan kenakalan-kenakalan remaja SMA pada umumnya. Tetapi bila Digo dalam masalah, di situlah mereka turun tangan membela dan ikut berbuat keributan.
Digo berasal dari keluarga seperti apa, hal itu tidak pernah diketahui jelas oleh Sisi. Jika pun digiring ke ruang bimbingan konseling, dan walinya dipanggil, orang yang hadir justru kaki tangan dari orangtuanya. Kehidupan pribadi remaja itu misterius bagi sekolah ini secara umum, dan hanya diketahui serta disimpan rapat-rapat oleh pimpinan sekolah maupun petinggi-petinggi yayasan. Identitasnya sulit digali, termasuk bagi guru-guru seperti Sisi.
Ada pun satu-satunya musuh besar Digo adalah anak kelas sebelas. Arka namanya. Dia pulalah yang menjadi lawan kelahi Digo pagi tadi di parkiran motor, yang juga disaksikan secara langsung oleh kedua mata Sisi. Dan setelah berhasil dilerai, Digo menghilang tak tahu ke mana sehingga jam pelajaran milik Sisi pun tak diikutinya.
Tersadar telah sibuk dengan lamunan, Sisi akhirnya berdiri, berusaha mengenyahkan alur pikiran yang menyita perhatiannya. Wanita itu bangkit dari kursi setelah mengecek waktu di arloji. Lagi, dia melangkah mengelilingi kelas yang hening setelah diberi tugas esai.
Senyap. Hanya bunyi tumit sepatu sang guru yang memberikan irama ketukan pada lantai bisu. Empat puluh menit sudah waktu berlalu, Sisi masih melangkah berkeliling kelas. Kedua tangannya bersedekap, sepasang matanya awas terhadap setiap pergerakan. Sesekali pula ditegurnya beberapa murid yang dianggap mencurigakan.
Hingga waktu yang ditentukan hampir tiba, wanita itu berseru lantang dari balik mejanya, "Oke! Waktunya tinggal lima menit lagi, ya! Bagi yang sudah selesai, tolong dikumpulkan sekarang. Saya tidak mau ada tugas yang menyusul ke ruangan guru!"
Ada desisan khawatir, pasrah beserta dengan lomba tulis-menulis menyusul seruan tegas Sisi. Satu persatu murid mulai beranjak dari tempat duduknya untuk menyerahkan tugas mereka kepada sang guru. Ada pula yang sampai berlari-larian hingga menyenggol meja temannya yang masih menulis dalam keadaan terburu-buru.
"Kecoret jawaban gue, anjir! Ati-ati, woi!"
"Heh, nggak boleh ngomong kotor! Selesain yang bener," Sisi menegur keras seraya menunjuk satu murid yang tengah memaki temannya dengan kesal. "Kamu juga!" katanya kepada sang pelaku yang mesem-mesem di hadapannya. "Nggak usah pake lari-lari. Saya masih ada di sini. Minta maaf dulu sana ke teman kamu, baru tugas kamu saya terima."
"Iya, Bu," murid tersebut mengangguk sebelum beralih ke kursi temannya yang tersenggol. "Bro, gue minta maaf, ya! Nggak sengaja."
"Iyeee, ah. Udah!" Si korban justru mengibaskan tangannya tanpa mengalihkan aktivitas seriusnya dari lembaran kertas jawaban. Menyaksikan hal tersebut, senyum geli di wajah Sisi terbit diam-diam. Walaupun terkadang membuatnya kewalahan menghadapi sifat nakal mereka, tetapi kelucuan siswa-siswinya ini juga yang menjadi hiburan baginya di sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTOUCHED
Fiksi Penggemar"Sometimes we have to get through the dark to appreciate the beautiful light."