Sejak saling mengenal, inilah kali pertama hubungan Sisi dan Dimas memburuk. Kekecewaan sang wanita cukup besar dan masih saja bersisa atas keberadaan sebuket bunga yang dirasa mengganggunya pagi tadi. Sebab, si pemberi terkesan tidak merasa bersalah dan mewajarkannya, seolah kedekatan mereka berdua memang harus dipamerkan ke satu antero. Dan kini pula lelaki itu sudah berdiri di seberang meja kasir toko, tepat di hadapan Sisi yang tengah mengolah angka-angka di layar komputer.
Dia menyapa, "Lagi sibuk banget, ya? Aku mau ngomong, boleh?"
Sisi akhirnya mendongak dan memberikan senyum tipis. "Duduk aja dulu. Aku harus nyelesain beberapa," jawabnya.
"Oke. Makasih." Dimas beralih ke sofa pengunjung.
Sisi melirik sekilas pergerakan lelaki itu dan berbisik kepada satu pegawai wanita yang kebetulan sedang berada di dekatnya, "Ni, tanyain dia mau minum apa."
"Siapa, Mbak?" pegawai Sisi bernama Nia itu tidak mengerti siapa yang dimaksudkan.
"Itu, Mas Dimas."
"Oo, iya, Mbak," katanya kemudian, paham.
Sisi memilih melanjutkan pekerjaannya dan kembali melirik ke arah Dimas saat pria itu sudah disuguhkan secangkir kopi dan beberapa iris kue. Lantas, dia kembali menatap layar komputer. Lama. Sekitar dua puluh menit berlalu, Sisi akhirnya meninggalkan komputer dan mengambil duduk tepat di hadapan Dimas yang masih setia menunggunya.
"Aku dateng ke sini buat minta maaf."
Baru saja Sisi mengempaskan bokong di sofa, lelaki itu sudah menyampaikan penyesalannya.
"Tapi kalo boleh tahu, kenapa kamu harus ngerasa terganggu?" lanjut Dimas lagi dengan pertanyaan telak. Dia menatap selidik wajah dan ekspresi gadis di hadapannya.
"Karena aku nggak mau jadi bahan omongan," aku Sisi, "aku nggak suka jadi pusat perhatian."
Dimas meletakkan garpunya, lalu menatap Sisi dalam waktu lama. "Masa sih zaman sekarang masih peduli sama pendapat orang?"
"Mengumbar hubungan di tempat kerja itu bukan aku banget," tukas Sisi. "Aku menjunjung tinggi privasi hidupku."
Hening.
"Oke, aku minta maaf sedalam-dalamnya untuk tindakanku hari ini. Aku telat sadar kalau aku udah nggak sopan sama kamu. Aku janji hal kayak gini nggak bakal keulang lagi."
"Dan masalahnya juga kan aku masih baru. Masih anget-angetnya, tapi udah deket aja sama kamu," tukas Sisi sekali lagi.
"Gimana?" Dimas kontan menelengkan kepala.
Sisi bersedekap sambil menundukkan kepala.
Hening. Dimas masih menatap lekat gadis itu. "Kamu takut dikira masuk ke SMA karena ada unsur nepotisme?" tembak lelaki itu akhirnya. Sisi mengangkat kepala dan balas menatapnya lama sehingga dia terkekeh paham, lalu mengambil satu suap red velvet dari piring dan mengunyahnya sambil menunduk. "Di luar insiden bunga, nepotisme atau pun enggak, zaman sekarang siapa yang peduli, Si?"
Lagi, Sisi menatapnya lama.
"Emang pernah denger ada yang ngomong kayak gitu? Siapa orangnya? Kalo emang ada, aku bakal nanya, nepotisme mana yang dia maksud? Jelas-jelas kamu masuk ke yayasan aja kita masih belum kenal."
Sisi menelan ludah.
"Kayaknya itu mindset kamu sendiri, yang juga pada akhirnya bikin kamu negative thinking sendiri. Jangan jadikan kasus Digo sebagai tolok ukur, Si. Dia satu-satunya manusia yang aku ampuni di muka bumi ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTOUCHED
Fanfic"Sometimes we have to get through the dark to appreciate the beautiful light."