"Gen yang pengaruhnya terbatas pada jenis kelamin tertentu biasanya disebut dengan, maaf..., Sex Limited Gene. Gen ini hanya tampak pada sifat kelamin sekunder manusia. Misalnya pria, seperti kumis, jakun, atau suara yang berat. Sedangkan sifat kelamin sekunder pada wanita antara lain kulit yang halus, ukuran pinggul yang besar dan suara yang tinggi."
Sisi berdeham dan menghentikan penjelasannya ketika satu murid pria dari belakang kelas tampak mengangkat satu tangannya, seperti sengaja menginterupsi. Namun, bibirnya menyunggingkan senyuman ganjil.
"Ya?" Sisi mengerutkan keningnya.
"Maaf, Bu. Di materi kali ini pemikiran saya sedikit tidak sejalan dengan penjelasan Ibu, di mana tadi Ibu Sisi mengatakan jika Sex Limited Gene adalah gen yang membuat kulit halus dan pinggul yang besar pada wanita. Menurut saya tidak hanya itu, Bu. Sudah ada faktor pendukungnya."
"Seperti apa?" Sisi menyipitkan mata dan menatap lurus si murid yang tampak menyeringai geli.
"Gini, Bu, ada sebuah perangkat lunak pendukung Sex Limited Gene dalam diri wanita, namanya he-he ... Photoshop."
"Huuuuuuuu...!!"
"WOI!! WOOI!!"
Seisi kelas tadinya hening terseret penasaran kemudian riuh meneriaki siswa yang ternyata hanya berkelakar. Bahkan ada beberapa murid yang melemparkannya alat tulis dan juga gumpalan kertas. Berani-beraninya dia mengerjai orang satu kelas, terutama guru mereka sendiri.
Di depan sana, wajah Sisi merah padam. Dirinya meradang! Dia sudah begitu sabar menunggu jawaban, tetapi sang murid ternyata hanya berniat melawak.
Tuk! Tuk! Tuk! "Stop! Diam dulu kalian!" bentak Sisi sembari mengetuk-ngetukkan spidolnya pada permukaan whiteboard.
Masih gaduh dengan dominan suara terbahak-bahak. Akhirnya, kesabaran Sisi mulai lenyap. Wanita itu mengambil langkah maju hingga ke barisan paling depan bangku siswa.
Tuk! "Kalian yang diam, apa saya saja yang keluar?!" ancamnya setelah menumbukkan ujung spidolnya ke permukaan meja siswa.
Seisi kelas pelan-pelan meredakan kegaduhan hingga benar-benar tenang. Di depan mereka ada gunung berapi yang siap memercikkan lavanya. Disapukannya tatapan tajam ke seluruh penjuru kelas, lalu berhenti tepat pada si murid pembuat gaduh.
"Saya berdiri di sini mengajarkan kepada kalian tentang ilmu pasti, bukan sesuatu yang bersifat omong kosong! Dan kamu?!" Sisi menunjuk lurus sang biang kerok dengan spidol di tangannya. "Nggak perlu senorak itu untuk nyari perhatian teman-teman kamu!"
"Bercanda, Bu."
"Pantaskah bercanda di situasi serius?" sambar Sisi tanpa melepaskan tatapan tajam dari wajah sang murid. "Saya selalu bilang kalau saya sedang menjelaskan teori, tolong jangan dipotong dulu! Saya pasti menyediakan ruang diskusi untuk kalian semua," lanjutnya. "Tapi sekali pun disediakan, saya tidak akan menerima teori bodoh semacam tadi."
Hening. Seisi kelas bungkam. Sementara itu, Sisi sudah kembali mejanya dan duduk diam di bangku. Dia kehilangan selera mengajar bukan saja akibat materinya yang dilecehkan, tetapi juga respons heboh seisi kelas. Kenapa mereka harus senorak itu? pikirnya. Tiba-tiba saja dia buntu sendiri.
Sekian lama mendiamkan diri, diangkatnya pandangan dari permukaan meja. Lalu ditatapnya lurus sesuatu di belakang kelas yang membuatnya dadanya tiba-tiba menghangat. Saka, sang ketua kelas yang dikenal Sisi sebagai murid paling bijaksana di kelas ini tampak sedang berdialog alot, lantas menarik tangan murid yang tadinya sengaja berbuat keributan.

KAMU SEDANG MEMBACA
UNTOUCHED
Fiksi Penggemar"Sometimes we have to get through the dark to appreciate the beautiful light."