16. Phone Call and The Emergency Stairs Incident

8.8K 1.1K 102
                                    

     Hujan besar telah reda. Namun, rinainya masih terasa. Pun begitu dengan jalanan ibu kota, banjir, macet dan bising dari bunyi klakson kendaran yang bersahut-sahutan.

     Dingin, Brama memasang sweater-nya melewati kepala. Lalu pandangannya kembali menyorot ke jalan raya dengan ponsel menempel di telinga.

     "Bener-bener dah, Si Digo. Ke mana sih nih anak?" Cowok itu mengusap gelisah wajahnya dengan satu tangan, satu tangan lain masih menggenggam ponsel dan menekan ulang ikon panggilan ke satu nomor telepon. Lagi, ditempelkannya ponsel tersebut ke telinga, menghubungi kontak tujuannya.

     "Bisa gila gue lama-lama," Brama merutuk sendiri. Kekhawatirannya menjadi-jadi, sebab nomor telepon Digo yang sejak tadi dihubunginya tak terjawab bahkan sudah puluhan kali.

    Saat jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam hari, Brama akhirnya terduduk di kursi depan kafe dengan rasa frustrasi. Ditatapnya jalan raya, berharap sosok sang sahabat segera muncul bersama motor besarnya.

     Lama sudah dia menunggu. Bahkan rasa lapar dan haus tidak sebanding dengan kekhawatirannya. Digo sudah setuju menemuinya di sini, di kafe ini, tetapi lelaki itu sendiri belum memunculkan diri. Teleponnya tak terjawab, pesan instan untuknya pun masih centang kelabu.

    Lagi, Brama mengecek waktu. Jam sudah menunjukkan hampir pukul tujuh malam. Ditekannya lagi nomor kontak telepon Digo saat sang pemilik akhirnya muncul bersama motor besarnya. Belum juga sang sahabat berhenti, Brama sudah berlari ke parkiran dan menghadangnya sambil berkecak pinggang.

     "Dari mana aja lo, Bowo?! Gue pikir lo udah mati!" bentak cowok tersebut.

     "Lebay lo." Digo membuka helm dengan raut datar setelah memarkirkan motornya. "Gue dari sekolah, lah."

     "Sekolah?! Ngapain lo di sekolah sampe jam segini?! Mau main jelangkung lo?!"

     "Berisik! Gua tadi neduh!"

     "Neduh biji lo!" Brama mengikuti langkah Digo menuju satu bangku luar kafe. "Cemen amat. Biasanya ujan batu juga lo terjang."

      Digo tidak menjawab dan justru mengeluarkan ponsel beserta kotak rokoknya dari saku jaket.

    "Lo cek tuh telepon sama WA gue! Sama pacar sendiri aja gue nggak pernah sampe kayak gitu."

     Digo berdecak sembari menatap tajam wajah Brama. Mulai disulutkannya rokok dengan pemantik. "Cerewet lo."

     "Ya, emang! Karena gue dapet sms kalo lo lagi diincer!"

       "Nggak usah heboh, Njing, gue juga dapet." Digo mengisap rokoknya dalam-dalam dan mengembuskan asapnya ke atas.

    "Terus, lo bales apaan?" tanya Brama, penasaran.

    "Ya ngapainlah gua bales? Ngancem doang bisanya," jawab Digo, tak acuh. Sebelah tangannya naik mengisyaratkan permintaan daftar menu kepada pelayan kafe.

     Di hadapannya, Brama juga menyulutkan rokok. "Masalahnya, dia sekarang udah pake preman, Bro. Dia tahu lo nggak bisa dikalahin kalo sekadar ngandelin temen segengnya."

     Pembicaraan mereka terputus. Digo memesan segelas lemon soda dan beberapa makanan kecil sebelum menyodor lembaran daftar menunya ke hadapan Brama.

       "Gue takutnya nih, Dig, mereka main jebak kayak kemaren. Makanya jangan heran gue ngintilin lo ke mana-mana," tukas Brama setelah pelayan kafe pergi dari meja mereka.

     "Termasuk neror gue kayak tadi?" Digo menatap sang sahabat dengan raut mencemooh.

     "Iyalah, Njing." Brama melumat puntung rokoknya di atas meja. "Soalnya Bajingan itu tuh manusia bebel yang pernah gue lihat. Penjara aja nggak bikin dia kapok. Kecuali ya..., dia dikurung sampe busuk."

UNTOUCHEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang