10. Revenge

9.3K 1K 84
                                    

     Sore mulai terkikis. Matahari merangkak ke peraduan dan menanggalkan sebagian cahaya keemasannya pada gumpalan awan yang membentuk tingkap-tingkap langit. Senja tengah bermegah di ufuk barat.

     Sementara di sini, di sebuah trotoar besar jalan raya ibu kota masih bergeming lelaki muda yang tengah menatap lurus seorang wanita tertatih.

     Dadanya bergejolak, pikirannya rancu. Apa yang baru saja terjadi? Apa yang wanita itu lakukan? Penyelamatan. Ya, sebuah penyelamatan untuk dirinya, hidupnya, nyawanya. Tapi, kenapa harus dia? Bahkan sosoknya sudah seperti pahlawan. Datang tiba-tiba untuk menolong hingga mengorbankan diri. Lama, Digo mematung dengan konflik batinnya.

     "Kepala kamu berdarah...," ucap wanita itu lagi. Digo melihat ekspresi khawatir di wajahnya.

     Mengapa harus begitu peduli? Dia sendiri bahkan mengabaikan luka besar pada kedua lututnya.

     Digo menelan ludah. Perasaannya aneh. "Lutut lo juga berdarah. Lo ngapain?" tanyanya dengan suara serak. Tiba-tiba dia merasa ini bukan dirinya. Namun nyatanya kalimat itu tadi berasal dari mulutnya yang terbiasa berucap kasar.

"Arka mau nyelakain kamu," jawab Sisi dengan cepat. "Saya ngelihat motornya ke arah sini sebelum saya masuk ke taksi di depan halte, dan saya langsung nyeberang ke sini."

     Andai saja nada bicaranya seperti ini sejak awal kemunculannya di sekolah, Digo pasti cukup respek terhadap wanita ini. Akan tertapi semuanya sudah terlambat, penilaian Digo tentang Sisi sudah minus sejak pertama kali mereka bertatap muka.

     "Kenapa lo harus nolongin gue? Harusnya lo seneng kalo gue celaka."

     "Saya nggak sejahat itu, ya, Digo! Ayo, Pak," Sisi memberikan isyarat keberangkatan kepada sopir taksi daringnya.

     "Tunggu!"

     Sisi baru sampai di seberang jalan dan langsung menolehkan kepala ke tempat semula. Di sana, Digo sudah menitipkan motornya di depan rental pengetikan dan berusaha memperbaiki tali ranselnya yang terputus.

     "Gue anter lo ke rumah sakit!" serunya, masih berdiri di pinggir jalan dan menunggu beberapa kendaraan lewat agar bisa menyeberang, menyusuli Sisi.

     "Nggak usah! Terima kasih. Saya bisa ngobatin luka saya sendiri!" balas Sisi dari seberang sini.

     "Gue nggak biasa utang budi sama orang!" Digo berteriak. Beberapa pemotor yang lewat tampak kebingungan menyaksikan dua orang yang saling berteriak dan terhalang jarak serta lalu lintas.

     Mendapati Sisi tetap melangkah tertatih menuju taksinya, Digo terpaksa menyeberang dengan satu tangan mengisyaratkan permintaan jalan kepada pengemudi kendaraan yang lewat. Alhasil, beberapa klakson kendaraan berbunyi akibat dari kejengkelan sopirnya terhadap aksi nekad remaja SMA tersebut.

     Duph! Sisi sudah menutup pintu mobil kala Digo baru saja tiba di sana.

     Tok, tok. Dia mengetuk kaca jendela mobil dengan napas memburu. Lantas, kaca tersebut diturunkan dan memunculkan wajah datar Sisi.

     "Apa lagi?"

     "Elo di kelas selalu ngajarin tentang manners ke kita semua. Tapi sekarang justru lo sendiri yang nggak mau ngehargain niat baik orang lain!" cerca Digo.

     "Saya sudah terlalu sakit untuk kamu ajak berdebat!" balas Sisi, menohok.

     "Oke, makanya itu gue sadar punya utang jasa sama lo!" Digo bersikukuh. "Gue harus ngelunasin itu."

     "Saya guru kamu. Utang jasa kamu terhadap ajaran saya bahkan melebihi ini."

     "Itu beda persoalan!" sela Digo cepat. "Gue sekolah di sini bayar pake duit, dan lo nerima pembayaran dari gue lewat gaji."

UNTOUCHEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang