Keputusan sudah diambil bulat. Arka dikeluarkan dari sekolah, sedangkan Digo masih dipertahankan dengan satu pertimbangan besar, yaitu sebentar lagi akan menghadapi ujian kelulusan SMA. Begitu berita yang Sisi terima beberapa hari ini.
Entah itu keputusan adil atau adanya sentuhan nepotisme pejabat negara, setidaknya Digo aman hingga lulus. Yayasan beserta wali murid dari pihak Digo berspekulasi sekaligus menjamin bahwa remaja tersebut akan lebih baik apabila musuh besarnya ditiadakan dari lingkungan sekolah.
Hanya saja dia kembali menghilang, lenyap. Pembicaraan dramatis bersama Sisi di depan lift dua hari lalu merupakan pijakan terakhir kakinya di gedung sekolah. Lagi, Sisi dibuat gundah. Sepertiya rasa ini menjadi teman akrab dirinya akhir-akhir ini. Gelisah, bingung, cemas hingga melamun adalah aktivitas rutinnya bila sudah sendiri.
Bukan hanya dirinya sebenarnya. Ada satu orang, yaitu Dimas, kekasihnya yang beberapa hari ini tampak sibuk dan lebih banyak diam. Sisi tahu hal tersebut akibat dari tekanan berbagai pihak kepada dia dan ibunya selaku pemilik yayasan. Dan hal itu bertambah besar ketika orang-orang mendapati bila Digo masih dipertahankan, sementara Arka didepak dari sekolah. Keprofesionalisme Dimas beserta Ibunya benar-benar diragukan.
"Stay strong. I know you did the best." Sisi mengusap-usap tulus punggung Dimas ketika lelaki itu memeluknya dengan ribuan kesedihan.
"Thank you, Home. I love you so much."
Kalimat tersebut justru menusuk relung dada Sisi sekaligus menempatkannya menjadi kekasih yang paling jahat di dunia. Dimas selalu mengadu padanya tentang permasalahan hidup, tetapi dia justru sibuk mengkhawatirkan nasib lelaki lain.
Itu terjadi. Ya, benar-benar terjadi. Sebab di hari ketiga ketidakhadiran Digo di sekolah refleks membuat Sisi kalang kabut. Bila wali kelas Digo tampak tenang setelah mendapatkan informasi dari wali murid, maka Sisi justru semakin resah. Kenapa Digo diberitahukan masih enggan bersekolah? Sementara musuhnya sendiri sudah lenyap setelah dikeluarkan dengan tidak hormat oleh pihak yayasan. Apakah Digo sedikit saja tidak memikirkan nasibnya sebagai calon peserta ujian nasional?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus saja mengganggu pikir serta ketenangan diri Sisi. Tidak tahan begini terus, wanita tersebut memutuskan untuk jalan sendiri mencari sang murid. Dia pergi di sore harinya berbekalkan ingatan akan alamat yang sempat dibacanya pada layar komputer di ruang CCTV Pusat Informasi Yayasan minggu lalu.
Tekadnya sudah bulat. Sisi pergi menggunakan taksi daring menuju alamat rumah Digo.
Hampir satu jam sudah perjalanan melewati macet. Sisi terheran-heran. Bagaimana bisa Digo pergi ke sekolah menggunakan motor? Ah, dia anak pejabat negara. Mungkin saja dititipkan di Jakarta, begitu pikirnya bahkan sejak pertama kali mendapati bila rumah muridnya itu di luar ibu kota.
Satu jam setengah di jalan, Sisi akhirnya tiba dan diberhentikan pada satu bangunan yang menyerupai gedung. Hunian cat putih tersebut bertingkat-tingkat serta dikelilingi tembok tinggi dengan pintu gerbang tertutup rapat.
Ragu-ragu, Sisi mendekati samping pintu gerbang yang dipajangkan papan informasi digital dengan tulisan, ANDA DALAM AREA PENGAWASAN CCTV. SILAKAN TEKAN BEL INTERKOM DAN BERBICARA DI DEPANNYA, diikuti terjemahan bahasa Inggris di bawahnya.
Kemudian, satu tangan Sisi terulur menekan bel interkom. Satu suara lalu muncul di speaker,
"Ya, selamat sore. Siapa dan ada keperluan apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTOUCHED
Fanfiction"Sometimes we have to get through the dark to appreciate the beautiful light."