A/n [1]
For your information, #UTC ini termasuk konten yang sangat keras untuk ukuran fanfiction, ya. Kalau kamu terbiasa cerita ringan, aku saranin dengan sangat, stop baca. Karena mulai dari bab ini kamu bakal nemuin banyak fakta berat serta kekerasan fisik dan segala macam yang selalu aku garisbawahi, BERAT.
Jadi kalau memang, "Van, cerita lo fail, uneducated, out of the moral."
Gurl, Dude..., you need to unfollow me.
Thank you. ☺
🍂
Kini ada banyak hal yang tengah melingkupi perasaan Sisi. Syok, sedih, sakit, malu, takut dan segala macam rasa membaur hingga dadanya berkecamuk, siap meledak. Namun demikian, tidak satu pun yang terungkap lewat gerak maupun ucap. Hanya hening, itulah satu-satunya suasana yang mendominasi di dalam mobil.
Sudah sejak tadi, sejak turun dari apartemen yang menjadi tempat terkuaknya satu fakta serta kalimat perpisahan, senyap itu menemani. Sebab hingga detik ini baik Sisi maupun Digo sama-sama pilih membisukan diri.
Mobil terus melaju dengan kecepatan sedang. Bila Digo terus diam dengan satu tangan pada setir kemudi, maka Sisi sendiri hanya menatap kosong ke depan, ke markah putih jalanan yang terus terlewati. Pikirnya terus saja bergelayut pada apa yang terungkap malam ini. Sebab bagi dia, hal itu merupakan satu dari ratusan hal paling mengejutkan dalam hidup, Dimas dan Digo ternyata bersaudara sepupu. Dan seketika pula fakta tersebut menggemparkan dada Sisi, membuatnya tersudut dalam bungkam. Dia syok, malu, lebih-lebih ketika tadi Dimas mendapati dirinya tengah berada dalam dekapan lelaki lain.
Lagi di tempatnya, kedua tangan gadis itu saling meremas. Dalam benak terus berkhayal jarak bisa memendek agar dia lekas enyah, lekas berpisah untuk meluapkan segala emosi yang sejak tadi tertahan di dada. Bukan hanya tentang hubungan dekat kedua pria di hatinya, tetapi juga satu hal lain yang amat menyakitkan, Digo tiba-tiba memutuskannya.
Celus kesakitan kembali hadir. Namun, Sisi terus menahannya dengan dewasa. Tidak ada lagi tangis, seharusnya, maunya. Tetapi ketika mobil Digo sudah tiba di halaman rumah mereka, kedua mata gadis itu kembali memanas. Sudut hatinya terus menyuarakan ketidakrelaannya berpisah dari remaja laki-laki ini.
Klek, Digo menekan tombol pembuka seluruh kunci pintu mobil dari tempatnya. Tanpa kata. Tatapnya pun terus dirundukkan ke kemudi mobil.
"Makasih..., Digo." Suara Sisi terjepit sesak. Dia turun dan menutup kembali pintu mobil tanpa dibalas ucap, pun gestur perpisahan dari sang mantan kekasih. Langkahnya gontai memutari haluan mobil dan justru berhenti beberapa detik sebelum berputar ke seberang kemudi, di mana Digo masih bergeming menatap dirinya.
Sisi mengetuk kaca jendela dan berdiri di sana sampai Digo menurunkannya. Sesaat, netra keduanya bertemu, lalu saling berserobok lama menyiratkan bahwa perpisahan ini merupakan luka. Luka yang amat menyiksa sebab tidak ada satu pun di antara mereka yang menginginkannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
UNTOUCHED
Hayran Kurgu"Sometimes we have to get through the dark to appreciate the beautiful light."