30. Gone

16.5K 1.3K 560
                                    

     Sisi pernah bermimpi buruk dalam tidur, tetapi mimpi tersebut nyatanya tidak pernah seseram kenyataan sekarang. Dia meringkuk kedinginan, terduduk dan terus bungkam bahkan saat tubuh kuyupnya diselimuti kain oleh dua orang polisi wanita.

     "Mbak ikut kami ke rumah sakit," kata salah satu dari polwan tersebut. Mereka berdua menuntun Sisi menuju kendaraan dari kepolisian.

     Sisi terus diam. Namun, dia menurut saja saat dirinya digiring melewat hiruk-pikuk jalan raya yang ditutupi oleh pihak keamanan. Sebagian masyarakat berduyun-duyun bersama ratusan awak media yang masih bertahan untuk menyoroti TKP (Tempat Kejadian Perkara) juga sosok Sisi sebagai saksi utama penyerangan.

     Digo sendiri telah dievakuasi dan dilarikan cepat ke rumah sakit terdekat. Ambulans yang membawanya berada pada urutan kedua iring-iringan, tepat di belakang dua motor Patwal (Patroli dan Pengawal) yang bertugas membuka jalan.

     Bunyi sirine bersahut-sahutan sepanjang jalan. Mengaung-ngaung memberitahukan bahwa sosok yang berada di dalam ambulans harus segera diberikan pertolongan nyawa. Di sana ada Reino ditemani Iyan, juga seorang dokter dibantu perawatnya dalam mempertahankan sisa-sisa kehidupan di nadi Digo, setidaknya sampai mereka tiba di ruang IGD (Instalagi Gawat Darurat) rumah sakit tujuan.

     Ambulans beserta seluruh kendaraan pengawal tiba. Petugas IGD yang sudah disiagakan langsung membuka pintu belakang ambulans, lantas mengeluarkan sosok Digo beserta dokter yang terus melakukan resusitasi di atas ranjang.

     "AWAAAS!!"

     "Kasih jalan! Kasih jalan!"

     Sekuriti IGD serta pengawal kompak meneriaki media yang meliput. Ranjang pasien dilarikan cepat menuju ruang instalasi.

     "Saya ikut masuk!" pinta Sisi kepada dua polwan yang terus mendampinginya. Satu dari dua orang tersebut berkomunikasi lewat handie talkie sebelum akhirnya mengantarkan Sisi sampai ke lobi khusus ruang instalasi.

     Sisi membekap mulut. Tangisnya kembali pecah tanpa suara. Ketujuh teman Digo beserta kekasih Brama berdiri di sana dengan raut muram. Benni dengan mata sembab, sementara Yuga bahkan terang-terangan menunjukkan kecemasannya lewat derai air mata.

     Sisi menguak pintu kaca ruang instalasi dan langsung mendapati semua orang yang dia kenali. Reino dan Iyan yang terus mendampinginya. Saras yang duduk terpaku. Dimas yang tengah bertolak pinggang sembari menumpukan satu tangannya pada tembok, juga Brama yang duduk luruh di lantai bersandarkan tembok ruangan. Tampilan remaja itu sangat kacau dan terus menangis pilu.

     "Si...." Dimas menghampiri Sisi. Mulutnya terbuka ingin mengucapkan sesuatu, tetapi langsung tergugu. "Astaga...." Dia memegang dada seraya membungkuk mundur akibat tidak sanggup berkata-berkata. Sakit sekali di sana. Sakit yang hanya mampu dilukiskannya lewat tangis pecah.

     "Teruskan bagging!"

     "Masih, Dok."

     Sisi menoleh ke arah kiri ruangan di mana beberapa orang dokter serta puluhan tenaga medis lainnya mengerumungi ranjang Digo. Semua dari mereka sibuk mengupayakan kehidupan bagi laki-laki tersebut.

     "Siapkan DC shock!"

     Air mata Sisi meluruh menyaksikan bagaimana dokter berupaya memacu jantung Digo menggunakan terapi energi listrik. Semua orang di sana mundur dari ranjang dan menatap layar monitor yang masih menunjukkan garis asystole.

     "Coba cek nadi karotis!" Dokter menghentikan terapinya.

     "Negatif, Dok."

     "Sudah berapa menit RJP-nya?"

UNTOUCHEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang