24. Another Daniswara; Break Up!

12.3K 1.4K 385
                                    

     "Bye, Son."

      "Bye." Digo menutup jalannya komunikasi setelah membalas salam perpisahan Reino. Disimpannya ponsel ke saku celana sebelum menyalakan sebatang rokok dan naik kembali ke atas motor. Remaja lelaki itu kemudian pergi dari halaman minimarket menuju jalan raya kota.

     Hanya sepuluh menit, Digo tiba di kediaman keluarga Brama. Dia langsung masuk rumah setelah memarkirkan motor besarnya di garasi keluarga, lalu naik menuju kamar sang sahabat di lantai dua.

     Digo mengetuk daun pintu beberapa kali sebelum terdengar sahutan malas dari dalam sana,

     "Siapaaa?!"

     "Gua!" sahut Digo.

     Tak berapa lama, daun pintu terkuak dari dalam. "Masuk," Brama muncul dari baliknya.

     "Tumben lo weekend nggak...." Bugh! Digo mengempaskan badan di atas kasur empuk sang teman dan kontan menghentikan kalimatnya. Adegan dewasa Brama bersama pacarnya di atas kasur ini tiba-tiba muncul terbayang dan membuatnya jijik sendiri. Dia langsung beranjak dari sana dan berdiri.

     "Lo kenapa?" tanya Brama, bingung. Remaja laki-laki itu sudah duduk bersandar pada kepala ranjang dan melanjutkan permainan daringnya. Memahami raut Digo, dia langsung tersinggung. "Seprai gua diganti tiga hari sekali, Anjing. Nggak usah sok jijik mulu lo sama ranjang gue!"

     Walau begitu, Digo memilih duduk di kursi meja belajar yang dialih tempat menjadi penyimpanan barang-barang elektronik.

     Hening. Digo mengangkat kepala tanpa menatap Brama. "Gue tadi ke PIK, terus ada yang nguntit gue rasa-rasanya dari Guardian dan ketahuan pas gue di Market City."

     "Hah?" Brama menatap syok wajah Digo seraya menurunkan tablet. "Lo ke PIK ngapain? Jauh amat."

     Hening. Digo menggulirkan kedua bola matanya dengan lelah, lalu memutar kursi yang didudukinya hingga posisinya membelakangi Brama.

      "HA-HA-HA-HA-HA! LO NGE-DATE SAMA BU SISI, YA? HA-HA-HA-HA-HA-HA!" Brama tiba-tiba tergelak besar setelah berhasil melakukan teori cocoklogi berdasarkan daerah pusat perbelanjaan yang disebutkan Digo tadinya. "Hanjing! Lo berdua beneran udah jadian?"

     "Just shut up your mouth, Bastard!" balas Digo keras seraya memutar kembali arah kursi, lalu melemparkan tatapan marah ke wajah Brama. "I was being stalked by stranger!"

     Kontan, Brama balas menatap serius. "Berapa orang?"

     "Satu ... yang kelihatan jelas sama gue," jawab Digo yakin. "Tapi feeling gue dia nggak kerja sendiri."

     Brama menarik kedua kaki hingga masing-masing tertekuk. Sementara itu kedua telapak tangannya menutupi wajah. Ditariknya napas panjang, lalu diembuskan dengan berat sambil kemudian membuka wajah, mengisyaratkan resah di dadanya.

     "Sori, Dig..., kalo udah kayak gini gue udah nggak bisa positive thinking itu suruhan Bokap lo," gumam Brama kemudian dengan suara serak penuh gundah. "Di pikiran gue itu udah pasti suruhan Arka yang ngincer lo," sambungnya. "Makanya gue bilang kalo lo nggak sama kita-kita, mending minta dikawalin ajudan atau bodyguard Bokap lo."

     "Ya masa turun apartemen beli rokok aja gue mesti dikawalin?" protes Digo.

     "Ya enggak selebay itu juga, Anjing. Maksud gue..., kan belakangan ini lo sering pergi-pergi sendiri. Nah, itu lo minta dikawalin," terang Brama.

     "Lo sendiri sudi, nggak, diiintilin kalo lagi sama pacar lo?" tantang Digo.

      Brama terbungkam menyadari sesuatu. Dia menatapi Digo cukup lama dan memahami bila cinta sudah mengubah banyak hal pada diri sahabatnya ini.

UNTOUCHEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang