11. Hideaway

9K 1.1K 131
                                    

     Apatis?

     Satu sudut bibir Digo menukik mengingat sebuah vonis dari seorang gurunya di sekolah. Tidak biasanya remaja itu bersikap peduli dengan penilaian orang lain. Namun, kali ini rasanya berbeda. Entah mengapa cukup menganggu, juga menciptakan sebuah penyangkalan kecil bahwa dirinya tidaklah seburuk tudingan tersebut.

     Lagi, Digo menenggak larutan alkohol dari dalam kalengan. Tangannya bertopang pada birai pembatas balkon apartemen, sementara pandangan matanya dilemparkan pada gemerlap cahaya lampu ibu kota.

     Setengah jam sudah Digo berdiri di tempat ini. Bergumul dengan bayang-bayang, juga bertemankan sepi. Ia terkungkung sendiri pada kilasan-kilasan peristiwa yang sebenarnya tak mampu diterima oleh logika, tetapi sudut lain hatinya tetap memilih bertahan di sana.

     Apa ini?

     Perdebatannya dengan Sisi sore tadi berhasil menyita fokus pikiran Digo.

      Shit! Dia kembali menenggak alkoholnya hingga tak bersisa dan berbalik menjauhi birai, lalu berbaring di atas kursi malas sambil memangku gitarnya. Beberapa detik kemudian senar gitar tersebut memainkan irama lagu Thinking Out Loud milik Ed Sheeran.

     Lama. Cukup lama angannya berdansa di bawah pengaruh melodi, dan terus menjelajahi ruang delusi. Jemari tangan Digo bergerak-gerak setia menciptakan alunan dari petikan senar. Sementara itu, matanya terpejam menikmati irama.

     Dan dunia ini seakan berhenti berputar kala dia menyadari hadirnya sebentuk wajah cantik yang tiba-tiba berpendar di ambang angan, seolah menyeret jiwa remaja itu untuk bercengkrama ke alam lain pikirannya.

     Ilusi. Itu hanya sekadar ilusi, Digo berusaha menyangkalnya.

🍂

     "Ini yang belum ngumpulin kliping kok banyak sekali?" Sisi berdiri di samping meja guru sambil mengaitkan sejumput rambut pendeknya ke belakang telinga. Kepalanya tertunduk memeriksa acak kliping yang baru saja terkumpul oleh sebagian siswa-siswinya di atas meja tersebut. Kemudian, dia kembali mengangkat kepala dan melemparkan tatapan ke kelas. "Oke, batas terakhir pengumpulannya saya putuskan di pertemuan kita Rabu depan, ya. Kalau masih ada yang tidak mengumpulkan, saya anggap nilainya nol," putusnya setelah mengeluarkan napas berat.

     "Ada yang tidak hadir lagi?" Sisi kemudian menelisik. Ada beberapa bangku kosong tanpa penghuni.

     "Absen aja, Bu," Saka, sang ketua kelas mengusul.

     Sisi mengangguk setuju dengan satu tangan memungut lembaran absen manualnya.

     "Abella Elanoor!" Sisi memanggil dengan lantang seraya mengangkat pandangan. Seperti biasa, mengecek keberadaan muridnya satu persatu.

     "Hadir, Bu."

     "Abigail Melisa!"
      
     "Hadir, Bu."

     "Abyan Harinata!"

     "Hadir, Bu."

     "Adelio Putra Narendra!" Sisi melanjutkan.

     "Hadir, Bu."

     Gadis itu memutar kedua bola mata tanpa minat untuk mengangkat pandangan begitu melihat nama muridnya yang keberikutnya. "Airlangga Digo Daniswara."

     Hening.

     "Hadir."

     "Kok, Digonya nggak dicek juga, Bu?"

UNTOUCHEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang