Sinar Matahari tak mampu mengusir hawa dingin pagi nan cerah di SMK Al-Azhar. Seorang guru wanita berusia paruh baya memandang peserta didiknya dengan tatapan kesal.
"Apa ini?" bu Aprilia Suwondo, Kepala jurusan Rekayasa Perangkat Lunak masih menurunkan suaranya sembari mengetukkan jemarinya di sebuah benda.
Pemuda di hadapannya nyengir tanpa merasa berdosa.
"Handphone bu.."
"Ya...ibu tahu ini handphone. Lihat dan baca aturan Laboratorium Kelas Rekayasa Perangkat Lunak nomor empat itu keras-keras!" bu April menunjuk dinding di sebelahnya.
"Dilarang membawa flashdisk, handphone dan peralatan elektronik lainnya ke dalam laboratorium" kata pemuda itu.
Bu April menghela nafas panjang. "Jadi? Kenapa kau malah bermain game di sela-sela pelajaran? Di laboratorium komputer pula?"
Saat pemuda itu akan angkat bicara, bu April sudah mengangkat tangannya memberi kode pada si pemuda untuk diam.
"Kamu memahami rule nya. Kalian di sini untuk belajar, bukan bermain. Ilmu pembuatan software membutuhkan konsentrasi tinggi untuk mempelajarinya, tapi apa ini? Kau sudah beberapa kali melanggar peraturan, minggu kemarin main internet di sela pelajaran, minggu ini kau kedapatan bermain game di kelas, kenapa?"
"Saya, sudah menyelesaikan tugas saya bu ..."
"Kalau sudah selesai satu bab, kau kan bisa meneruskan ke bab berikutnya atau berlatih dengan latihan soal dari modul yang ada?!"
"Semua sudah saya kerjakan bu.."
"Semua?" dahi bu April mengernyit.
"Silahkan ibu periksa.." kata pemuda itu, masih mempertahankan senyumnya.
Dari komputer server di mejanya, bu april membuka Netop Teacher yang menghubungkan komputer itu dengan enam server komputer di seluruh laboratorium komputer RPL.
"Tadi kamu di lab berapa?"
"Lab dua bu, komputer nomor satu, saya kan absen paling depan sendiri.."
"Hmmm.." bu April membuka data induk di guru server dan membuka folder simulasi digital kelas X RPL 4. Dibukanya folder komputer satu dan benar saja, dari sepuluh bab seluruhnya sudah terisi semua bahkan sampai latihan soal sudah dikerjakan bocah ini dalam waktu dua minggu.
Ya, dua minggu karena anak ini adalah murid pindahan dari sekolah lain, selama ini SMK Al-Azhar tidak pernah menerima murid pindahan tapi anak ini adalah perkecualian karena nilai di raport sebelumnya sangat bagus sehingga sekolah tidak bisa menolak rekomendasi dari sekolah sebelumnya.
"Baru dua minggu dan kamu sudah menyelesaikan semua, apakah kamu mengerjakan di rumah dan mengcopy dari flasdiskmu?"
"Tidak bu, bukannya modul tidak boleh dibawa pulang?"
Bu April masih memeriksa satu persatu ini folder yang memang sudah terisi file tugas praktik yang harus dikerjakan peserta didik.
"Baiklah.." bu April menghela nafas panjang.
"Kali ini saya maafkan, tapi rule untuk tidak membawa handphone di lab masih berlaku, jika kau sudah menyelesaikan tugas praktikmu, kau bisa menemui ibu dan meminta tugas yang baru atau modul lain yang bisa kamu pelajari, bukannya malah bermain game di lab, mengerti?"
Pemuda itu tersenyum dan mengangguk.
"Nah, kau boleh pergi!"
"Terimakasih, bu.."
***
"Apa ibu tidak merasa, ada yang aneh dengan anak itu?" tanya pak Rifan yang sedari tadi memperhatikan interaksi bu april dengan siswanya.
"Maksud bapak?"
"Dia terlalu ..." pak Rifan mengangkat bahu. "Bersih, rapi dan yah, sepertinya dia memiliki kharisma yang tidak biasa untuk anak seusianya, biasanya siswa pindahan adalah siswa yang memiliki masalah dengan sekolah sebelumnya, tapi anak ini, dia memiliki prestasi cemerlang dan kita menerima dia karena alasan kepindahannya...."
"Dia pindah dari sekolah negeri dan berniat mendalami ilmu agama di Pondok Al Azhar, dengan alasan itulah Kyai Sepuh turut merekomendasikannya karena selain sekolah di sini, dia juga telah masuk pondok.." bu April mengangguk. "Ya, karena alasan itu kita menerimanya di sini..., tapi anda benar, kata 'mencurigakan' memang tidak tepat kita tujukan padanya, tapi dia terlalu....sempurna untuk sekolah di sini, kenapa dia memilih kota kecil? Tidak ke Yogyakarta atau Jakarta karena kita tahu dia dari kalangan berada" bu April mengetuk jemarinya ke kaca meja sambil berfikir.
"Mungkin karena suasana pedesaan yang damai di Al-Azhar dan dia memang diarahkan orangtuanya untuk bersekolah di pondok, bu..."
"Tapi dia bukan anak nakal, biasanya orang kaya menyekolahkan anaknya di pondok kan karena anaknya memiliki tabiat buruk, sementara anak itu terlihat begitu sopan dan ramah..."
Pak Rifan membenarkan dalam hati, terlalu sopan dan ramah malah, karena biasanya anak dengan wajah setampan itu memiliki sifat dan sikap arogan. Tapi anak itu tidak segan menyapa dan bergaul akrab dengan semua siswa padahal dia terhitung baru beberapa minggu sekolah di sini, tapi banyak anak yang sudah respek padanya. Belum lagi para siswi centil yang entah bagaimana membuat fans club yang mengikrarkan diri sebagai pengagumnya. Kadang kesempurnaan sekalipun, justru menimbulkan masalah.
"Kulitnya bersih seperti etnis Cina, perawakannya tinggi dan wajahnya agak oriental karena itu saya tidak menyangka dia beragama Islam" gumam bu April.
"Cina India bu .... pak Rifan tertawa kecil saat membaca biodata anak tadi.
"Marga Khan itu kan dari bangsa Mughal, siapa tahu anak itu memang keturunan Mughal ...."
Bu April berdecak dan menggelengkan kepala.
"Ah, pak Rifan ini ada-ada saja..., wah, ini sudah masuk jam ketiga, anda mengajar?"
"Iya bu..."
"Baiklah, mari kita masuk ke kelas"
Pak Rifan meletakkan kertas berisi profil siswa tadi di meja bu April kembali. Aryan Mahavindra Khan, pemuda yang lahir enambelas tahun silam di Jakarta itu adalah putra tunggal seorang pengusaha. Ayahnya, Rayan Mahavindra Khan adalah pengusaha tekstil yang memiliki toko bahan pakaian terkenal dan membuka banyak cabang di kota-kota besar di Indonesia. Biasanya anak pengusaha seperti ini, diarahkan ayahnya untuk belajar keluar negeri, tapi kenapa Aryan justru bersekolah di pesantren yang letaknya di kaki gunung seperti ini? Memang sistem pendidikan di Al-Azhar walaupun sekolah swasta sudah dikenal cukup bagus, Al-Azhar memiliki komplek pendidikan yang lengkap dati PAUD sampai Universitas. Yah, mungkin 'mendalami ilmu agama' sekaligus belajar untuk menjadi ahli software mumpuni memang hanya bisa didapat di Al-Azhar.
Pak Rifan sendiri mengajar Aryan di kelas Pemrograman dan Web, menilai jika Aryan adalah murid yang cerdas, penataan warna, pemakaian jenis huruf dan pengolahan data yang dipakai Aryan untuk merancang Web nya sangat bagus. Anak itu memiliki bakatnya sendiri di bidang RPL.
"Tapi bu April benar. Anak ini sedikit aneh..." gumam pak Rifan.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
US - Games of Love [NOVEL INI SUDAH DITERBITKAN]
AcciónPENGUMUMAN BUAT PEMBACA Untuk US Series 1. Games of Love (Aryan Mahavindra/Delta Mahadewa)sebagai pimpinan Divisi Delta SUDAH DIBUKUKAN 2. Eternal Love (Ramadhan Dwi Putra/Cain Nightlord) SUDAH DIBUKUKAN 3. Cold Hearted (Bramantya Dewangga Jati/Roni...