Devair : The Edge

12.9K 886 3
                                    

Meva tidak pernah mengerti dengan apa yang mengganggu Deva akhir-akhir ini. Wajahnya memperlihatkan beberapa luka lebam dan bercak kemerahan di ujung bibirnya yang belum mengering. Setahunya, Deva paling tidak suka berkelahi.

"Dev," Meva menarik kursinya dan melipat tangan di atas meja memperhatikan tingkah laku Deva yang aneh. "Apa pekerjaanmu baik-baik saja? Apa ada yang menggagumu?"

Deva menggeleng cepat, pandangannya masih ke arah lain. Meva menoleh ke belakang, tak ada hal apapun yang pantas untuk dipandang, selain seorang wanita yang sedang bergurau dengan-mungkin-pacarnya di dekat bar. Mereka tampak serasi bagi Meva.

"Kamu kenal sama mereka?" Meva mencoba menerka, namun Deva menggeleng dan malah menatap cangkir putih di hadapannya.

Meva tak bergeming, segudang proposal yang masuk membatnya sudah cukup lelah untuk menghadapi sikap Deva. Dia mengambil tas hitamnya dan pergi dari The Edge. Deva hanya menatap kepergian Meva dengan tatapan datar. Fokusnya masih ke arah dua manusia yang kini duduk di samping kolam renang.

"Serius sekali," sebuah tepukan mendarat di bahunya. Deva menoleh dan mendapati Josi sedang bersender di kursinya. Deva menelan ludah saat melihat Viana berjalan mendekati mereka dengan minidress putih yang menampakkan hampir setengah dari tubuhnya.

"Kenapa kalian kemari?"

"Wow wow, santai, bro. Kami sering ke sini," Josi menepuk bahu Deva lagi dan duduk di sampingnya. "Siapa wanita tadi? Lumayan."

"Diam atau kamu akan mengeluarkan isi perutmu di sini."

Josi tertawa renyah, "Bukannya aku yang melakukannya?"

"Ck, jangan seperti anak kecil." Viana mengedarkan pandangannya ke sekitar bar dan memilih untuk duduk di bangku lain menghindari ocehan Josi dan Deva.

"Ada yang ingin aku tanyakan." Deva mengangkat kepalanya dan menatap Josi dengan raut wajah penasaran, "Seberapa dekat kamu dengan Aira?"

"Hm, hanya kenalan. Hanya saja dia sedikit sulit untuk diajak 'kerjasama', dia sangat polos. Apa kalian tidak pernah melakukannya?"

Deva menutup matanya mencoba meredam keinginannya untuk memberikan Josi sebuah tinjuan tepat di tengkoraknya. Dia tidak suka Aira dilecehkan seperti itu. Andaikan saja Deva tahu perlakuan yang diberikan Josi terhadap Aira, mungkin saat ini Josi sudah terlindas roda pesawatnya.

"Jawab pertanyaanku."

"Aku mengenalnya saat dia masih training. Aku tidak heran kalau kamu suka dengannya. Dia gadis yang menarik, 'kan?"

Tanpa disadari Deva mengangguk.

"Ya.. itu saja dulu." Josi beranjak dari kursi sebelah Deva, sebelum pergi Josi menepuk pundak Deva lagi dan membisikan sesuatu tepat di telinganya.

"Pasangan di dekat kolam renang sangat serasi."

***

"Passportku ketinggalan di Bandara, Kak!"

Arsaka tertawa lepas saat menceritakan pengalamannya berlibur ke Filipina tiga tahun yang lalu. Saat itu adalah kali pertamanya ia pergi ke luar negeri seorang diri dan naasnya lagi passportnya tertinggal di Bandara saat sudah memasuki proses boarding.

"Hahaha, terus gimana?"

"Untung aja sih petugas Bandara-nya cepet ngejar, kalau engga sekarang aku udah jadi warga Filipina," ujarnya kemudian meredam tawanya dengan meminum milkshake pesanannya.

"Anyway, panggil aku Aira aja. Aku gak terbiasa dipanggil Kakak karena aku anak bungsu di rumah."

"Oh ya? Hmm, okay, Aira."

Suasana sunyi terjadi beberapa saat. Aira memilih untuk melihat pemandangan menarik di sekitarnya. Aira selalu berkeinginan untuk pergi ke sini. Dua orang pria yang duduk tak jauh darinya membuatnya ingat akan seseorang, namun ia tidak dapat memastikan karena wajah mereka terhalang oleh pantulan sinar lampu yang menerangi The Edge Bistro malam itu.

Arsaka meyentuh ujung jari Aira untuk menarik perhatian gadis itu, "Kapan balik ke Dubai?"

"Besok." Aira mengulum senyumannya, membuang jauh-jauh pikiran tentang seseorang yang tiba-tiba datang ke dalam pikirannya.

Bibir Arsaka menekuk mendengar jawaban Aira. "Kenapa buru-buru sekali?"

"Di Jakarta sepi. Papa lagi ke Palembang. Liburnya gak pas banget sih." Ujar Aira sebal. Memang benar, tiga hari di Jakarta hanya membuatnya suntuk. Pagi hari harus ikut mengurus Divia dan malam hari ikut ke Bandara untuk menjemput suami Caca. "Bulan depan pulang lagi, kok."

Arsaka mengangguk senang, dia masih memiliki kesempatan untuk bertemu dengan Aira lagi. "Kalau flight ke Jakarta bilang-bilang, ya. Nanti kufotoin pesawatnya!" celetuk Arsaka semangat. Aira hanya mengangguk saja mengingat hobi Arsaka adalah berpanas-panasan di ujung landasan demi mendapat gambar dari pesawat yang lalu lalang. Bahkan Arsaka pernah bolos kuliah hanya untuk memotret pesawat dari Eropa. Sungguh di luar nalar tapi itulah mereka.

"Sure."

Setelah hampir satu setengah jam mengobrol, Arsaka dan Aira turun ke parkiran untuk pulang. Tiga mobil di sebelah kanan mobil Arsaka, Aira melihat sebuah Honda Civic yang sudah tak asing lagi.

Aira menggelengkan kepalanya cepat, dia tidak mungkin ada di sini. Jakarta cukup luas untuk mereka tidak bertemu secara kebetulan seperti ini. Lalu, pemilik mobil seperti itu tidak hanya satu di Jakarta.

"Kenapa?" Arsaka yang melihat gelagat aneh dari Aira mencoba mencairkan suasana. Dia menarik Aira masuk ke dalam mobilnya karena rintikan air hujan mulai turun.

Hujan pertama di minggu ini. Dalam perjalanan pulang, pikiran Aira dipenuhi dengan rasa penasaran. Walaupun jauh di dalam hatinya ia mengelak.

Arsaka tidak berani untuk bertanya apa yang terjadi kepada Aira, dia hanya takut kalau Aira bosan dengan acara yang dibuatnya malam ini untuk Aira. Satu-satunya yang dia pikirkan hanyalah mobilnya tidak sebagus Honda Civic yang dipandangi Aira di parkiran dan mungkin itulah yang membuat Aira tidak nyaman.

***

"Aira, sorry ya, aku ada jadwal kuliah pagi. Have a nice flight!"

Aira tersenyum dan menekan tombol pause di aplikasi LINE-nya. Sambil menarik kopernya di terminal keberangkatan internasional, Aira memandang sekitar. Baru tiga hari ditinggal, dia sudah sangat rindu dengan pekerjaannya. Di mana saat dia menarik koper dibalut dengan seragam berwarna cream dengan topi merah di kepalanya, dia selalu menjadi pusat perhatian. Aira menggenggam lembaran tiketnya di tangan dan berjalan menuju counter check in.

Kopernya tergeletak di atas lantai saat Aira menabrak seseorang di depan pintu. Pria yang menabraknya tadi mengambil tiketnya dan menyerahkan benda itu kembali kepada Aira.

"Maaf, Mbak, saya buru-buru."

Aira menyingkirkan rambut panjangnya yang menutupi setengah wajahnya dan melihat sosok yang ditabraknya tadi. Kedua mata mereka sama-sama melebar saat Aira melihat wajah itu dengan seksama.

"Aira?"

Gadis itu meraih gagang kopernya dan meminta maaf kepada pria yang ditabraknya tadi, "Maaf, saya juga buru-buru."

Aira meninggalkan tempat itu dan langsung masuk ke dalam counter check in. Aira masih dapat melihat sosok itu berdiri di depan pintu transparan yang membatasi mereka. Pria itu sama sekali tidak berubah. Satu tahun lalu, pada jam yang sama, saat ini mereka sudah bersiap-siap untuk terbang ke Singapura. Namun sekarang berbeda.

Hanya itu yang bisa diisyaratkan oleh Aira saat bayangan akan sosok Deva memudar dan pria itu sudah tak berdiri di sana.


To be continued...

Devair (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang