Aira Frenelia : Love in Mercato

13.9K 805 3
                                    

Aira Frenelia : Love in Mercato

Andeen menguap beberapa kali saat kami meninggalkan bangunan Bandara dan masuk ke dalam bus yang mengantar kami ke pesawat yang akan kami gunakan untuk kembali ke Dubai dari Dhaka—kota yang terletak di pinggir Sungai Buriganga, Bangladesh—sambil mengecek make up-nya kembali. Dia tidak bisa tidur semalaman karena cuaca yang cukup panas.

Aku menarik koperku di head rack dan mengganti high-heels dengan flat shoes kemudian memulai pengecekkan kabin. Salah satu senior di penerbangan ini menyiapkan cold towel yang akan dibagikan kepada penumpang sesaat setelah lepas landas.

And here we are!

Semua kursi terisi penuh dengan penumpang. Dan bisa dipastikan penerbangan kembali ke Dubai akan sangat sibuk. Andeen mondar mandir di sela-sela kabin kelas bisnis untuk menghidangkan champagne ke beberapa penumpang kelas bisnis.

Saat waktu makan siang dibagikan, aku bersama salah satu kru yang lain mendorong trolley dan membagikan nampan berisi makanan yang sudah dihangatkan sebelumnya.

Aku harus bekerja sedikit ekstra keras karena penerbangan dari Dhaka ke Dubai hanya berkisar empat jam dengan full pax!

Aku menuangkan minuman ke gelas demi gelas penumpang di kelas ekonomi. Ini adalah penerbangan pertamaku yang membuat aku harus mengelap dahi karena keringat. Beberapa kali aku harus menjadi orang tuli karena aku tidak mengerti dengan apa yang penumpangku minta. Kebanyakan dari mereka berbicara dengan bahasa Bangladesh atau Arab. Ini benar-benar membuatku pusing!

"Akhirnya!" Aku melempar tubuhku ke jumpseat. Seorang kru kabin memberiku segelas teh, dengan senang hati aku menerimanya.

"As always, penerbangan yang melelahkan." Dia tersenyum. Senyuman khas timur tengah yang ia berikan kepada penumpang setiap saat, juga kepada kru kabin sepertiku. Natasha duduk di sebelahku dan ikut meminum minuman yang sama.

"Masih ada banyak pekerjaan lagi untuk dua jam ke depan. Aku benar-benar rindu kamarku."

Natasha mengarahkan matanya ke arah dada kiriku, tempat nametag dan pin berbentuk bendera merah putih terpasang. "I miss my hometown. Aku sudah lama ingin pulang ke Indonesia, tetapi Dubai sudah seperti rumah keduaku..."

Aku tertegun saat Natasha menceritakan tentang pengalamannya bekerja di tiga maskapai berbeda dalam enam tahun karirnya. Dia bekerja di perusahaan ini baru sekitar dua tahun. "Aku ikut dengan suamiku ke Dubai. Kami bertemu di penerbangan ke New York empat tahun yang lalu. That was sweet."

' Aku mengangguk dan tersenyum ke arah Natasha. Aku selalu berharap memiliki kisah yang sama dengan kebanyakan kru lainnya. Bertemu dengan pasangan hidup mereka di salah satu penerbangan, apakah pasangan itu sebagai penumpang ataupun kru yang bertugas. Benar kata Natasha, that was sweet.

"Apa kamu pernah mengalaminya? Maksudku, mendapatkan pasangan saat bekerja?" Natasha menggenggam tanganku, raut wajahnya memaksaku untuk menjawab pertanyaannya itu.

"Itu...ya, aku pernah mengalaminya. Saat aku masih di Indonesia."

"Di mana dia sekarang?"

Bayangan akan pria itu kembali datang. Apa yang kulihat di The Edge beberapa hari yang lalu masih terbayang di pikiranku. Aku tidak menyangka akan melihat Deva bertemu dengan seorang wanita cantik—dan sepertinya kaya, dilihat dari penampilannya—hanya berdua. Wanita itu tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya saat memandang Deva, sama seperti aku, dulu.

Devair (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang