Aira Frenelia : Senior Flight Attendant

17.8K 1.1K 3
                                    

Heyhoy! Sorry ya baru update! (gak cuma wc yg bisa mampet, otak author juga bisa u,u) Sebelum baca part ini, disarankan untuk menonton video di atas *tunjuk tunjuk* hehehe. Selamat membaca!


*** 


Berita tentang kedekatanku dengan Deva merebak ke seluruh pendengaran kru maskapai ini bahkan maskapai tempat Deva bekerja sebelumnya. Aku tidak pernah menyangka reaksi para wanita (bahkan pria) di sini sangat luar biasa. Hampir setiap penerbangan aku selalu ditanyai tips untuk menaklukan firstofficer beken seperti Deva.

"...segenap kru dan saya Aira Frenelia sebagai senior awak kabin mengucapkan selamat menikmati penerbangan kami.."

Aku menaruh kembali intercom di tempatnya semula dan bersiap untuk melakukan cabin check sebelum pesawat lepas landas. Penerbangan kami dari Bali ke Perth hari ini harus diselimuti hujan deras dan keadaan kabin yang sepi penumpang. Selain itu ini adalah penerbangan pertamaku sebagai senior flight attendant yang menuntutku untuk membimbing juniorku dan bertanggung jawab dengan apa yang mereka lakukan.

Satu penumpang di row 10 memegang dadanya kuat-kuat saat aku dan dua kru lainnya sedang melakukan safety demonstration. Pria berumur sekitar 20 tahunan itu meringis kesakitan dan sesekali terbatuk. Kupikir itu hanya reaksi biasa saat berada di dalam pesawat.

Setelah pesawat mengudara selama satu jam, Cisilia, salah satu awak kabin tiba-tiba berlari ke tempat pria tadi saat penumpang di sebelahnya berteriak histeris. Aku segera menghampiri mereka dan menghentikan meal service sejenak.

"What's happening?" aku memeriksa keadaan pria itu. Mulutnya mengeluarkan busa dan matanya tertutup rapat. Box makanan di mejanya tak sempat di buka, hanya ada beberapa tablet putih yang berceceran.

"He...he fainted and-" seorang ibu yang duduk di samping pria itu nampak ketakutan. Cisilia segera memindahkan ibu itu untuk duduk di bangku belakang setelah kuberi perintah.

Aku dan dua awak kabin lainnya segera melakukan prosedur CPR agar jantung pria ini tetap berdetak. Kami membawa pria itu ke galley belakang dan meletakkannya di lantai kabin. Beruntung sekali penerbanganku kali ini dipermudah dengan dua awak kabin pria sehingga aku tidak kesulitan dalam menangani keadaan yang membutuhkan tenaga seperti ini.

Dari depan kabin, Cisilia mencoba mengumumkan lewat intercom jika ada salah satu dari penumpang yang berprofesi sebagai dokter atau dalam masa pendidikan kedokteran.

Aku menempelkan telingaku di dada pria itu, "Coba sekali lagi!" seruku setelah tidak mendengar detak jantungnya. Aku bergetar, melihat wajah pucat pria ini membuatku ingin pingsan. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku lakukan jika detak jantung pria ini tak segera kembali.

"Mbak Aira, ada dokter!" Seorang pria berjas hitam datang ke galley dan berlutut di samping tubuh pria itu. Dia mengambil alih usaha CPR kami. Tangannya dengan mahir memberikan step demi step pertolongan pertama untuk pasiennya.

Nametag di kemeja putihnya bertuliskan 'Natan Hendra Ardhan'. Aku termenung melihat pria itu perlahan-lahan memberikan respon positif. "Berapa lama lagi kita sampai di Perth?" tanya Nathan sambil memegang lengan pria itu untuk memeriksa denyut nadinya.

"Dua... dua setengah jam lagi."

Nathan memberikan isyarat kepada kedua awak kabinku untuk membawa pria itu ke kursi paling belakang dan menidurkannya di sana. Nathan mengambil tasnya di headrack dan memilih untuk duduk di dekat pria tadi agar dapat memantau kondisinya.

Devair (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang