"Dia masih di sana.." Caca melipat tangan di atas dadanya, masih menengok ke luar jendela. "Dia ngomong apa?"
I don't know what's going on with this world. Deva tiba-tiba saja muncul di halaman tempat kerjaku. Dan bodohnya lagi aku malah marah kepadanya. Soal foto itu... maksudku, aku tidak marah! Aku hanya berusaha untuk tidak perduli apapun tentang Deva.
Aku memijat pelipisku yang terasa pening setelah memikirkan kata-kata yang kuucapkan kepada Deva tadi. Dia malah memojokkanku dengan pertanyaan sesederhana itu.
Apa benar aku cemburu? Why should I?
"Pusing gue, Ca.."
Caca mengerutkan keningnya, "Kenapa juga lo harus mikirin dia kalau memang lo gak ada perasaan lagi?" celetuknya, langsung ke inti.
Aku menopang daguku dan berpikir tentang perasaan aneh apa yang aku rasakan, "Foto itu... gue marah, Ca. Gue gak suka.. Gue.."
"You still love him."
Kalimat Caca seakan menamparku untuk segera sadar dari kenyataan yang ada. Tatapan Deva masih sama seperti saat kami berada di dalam ruang kemudi sebuah pesawat yang menjadi saksi pengakuannya kepadaku tentang perasaannya. Aku tidak bisa berpikir jernih karena perasaanku yang dulu tertutup dengan kekecewaan yang aku alami.
"Kejadian di penerbangan terakhirmu sama dia, apa lo pernah tanya co-pilot cewek itu siapanya Deva? Kenapa dia berbuat seperti itu?" Caca duduk di depanku, sekarang kami terlihat sebagai pengacara yang sedang mewancarai kliennya, "apa lo ngerti kenapa Deva gak pernah menceritakan masa lalunya sama Meva?"
Aku mengadahkan kepalaku, menatap Caca, "Aira, apa lo pernah berfikir kalau lo itu egois? Egois tentang perasaan lo sendiri dan juga terhadap Deva. You love him, buka hati lo sedikit, Ra..."
"Gue.."
Suara gemuruh disertai kedatangan awan hitam menghentikan percakapanku dengan Caca. Caca mengambil sebuah literatur dan pergi dari ruanganku, mengejar kelasnya. Aku berjalan menuju jendela dan melihat Deva tak lagi di halaman, dia berlari menghindari angin kuat dengan berdiri di selasar deretan ruko yang menjual makanan.
Egois?
***
Jakarta - Bali
"Delay kenapa, Capt?" tanyaku kepada Capt. Ahmad yang kala itu melakukan lima penerbangan terakhirnya sebelum 'pensiun'.
"Di Bali hujan deres, takutnya turbulance atau paling parah kita landing di bandara lain. Jadi kita delay dulu sampe dapet kabar dari Bali." Katanya sambil mengontak petugas darat berkali-kali untuk mengecek keadaan pesawat di bawah sana. Aku kembali ke cabin dan melihat the girls sedang ngerumpi di bangku-bangku penumpang. Ada yang menata rambut, berselfie ria, bahkan tidur.
Aku membuka tas tanganku dan mengecek notif di ponselku. Tak ada notif apapun kecuali ucapan selamat ulang tahun yang meluap dari facebook-ku.
'Kok Deva nggak ngucapin, ya? Atau dia lupa?'
"Lagi ulang tahun kok galau sih, Mbak?" ujar Claudia, si tinggi menjulang dengan rambut cokelat terang.
"Si pacar lagi terbang, ya?" lanjut Maria sambil menopang dagunya di sandaran kursi. Aku menggeleng dan menyimpan ponselku kembali.
Terbang dengan seluruhnya kru perempuan (kecuali pilot) adalah penerbangan paling menyenangkan! Aku bebas untuk mengobrol tentang ini dan itu tanpa harus dibatasi karena adanya pramugara. We do a girl's talk everytime there's no passenger. Buku, sepatu, tas, gaya rambut, bahkan pakaian dalam pun tak habis-habisnya kami bahas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Devair (Completed)
Romance[BACKGROUND : A320 (local airlines), B777 (int. Airlines), A380 (int. Airlines)] "When everything seems to be going against you, remember that the airplane takes off against the wind, not with it." -Henry Ford Bagi beberapa orang, burung besi itu m...