Aira Frenelia : Somewhere Near The Edge of The Runway

10.9K 660 2
                                    

A friend is one that knows you as you are, understands where you have been, accepts what you have become, and still, gently allows you to grow. – William Shakespeare

"Jangan tuang minuman sampai penuh..."

Semenjak kepulanganku dari Dubai, aku bekerja sebagai salah satu instruktur di sekolah pramugari milik kakak perempuan Caca. Aku memanggilnya Shella. Dia tidak ingin dipanggil Mbak, Bu, Kak oleh pegawainya sendiri. Karena masih baru, aku hanya membantu Shella saat kelas service dan terkadang membantunya dalam kelas table manner.

Aku menikmati momen-momen di mana aku harus memberikan ilmu yang kupunya untuk calon pramugari yang hampir semuanya berbakat setelah mengikuti serangkaian tes yang harus mereka lakukan sebelum mengikuti pendidikan.

Walaupun gajiku tidak sebanyak saat aku bekerja di maskapai di Dubai, setidaknya aku bisa memakai ilmu yang sudah diberikan kepadaku dan tidak membuangnya dengan sia-sia.

"Halo, Tante!" saat jam makan siang, Caca datang bersama dengan Divia, anaknya yang sekarang hampir menginjak umur tiga tahun. Masa lucu-lucunya.

Caca datang membawa box meal untukku dan cream soup kesukaan Divia. Kami menikmati makan siang kami di kantin, berbaur dengan siswi lain. Caca sibuk mengurusi Divia sedangkan aku hanya bisa melihat mereka iri.

Caca sangat beruntung, lebih beruntung daripada aku. Dia mendapatkan seseorang yang terbaik dan dapat menjaga perasaannya, karena aku tahu, pekerjaan Pandu juga tak kalah 'beresiko' dari Deva. Setiap hari selalu dikelilingi wanita cantik, tetapi Pandu tak pernah membuat Caca kecewa sekalipun.

"Ra, ke toilet bentar ya. Titip Divia, ok?" aku meraih lengan Divia agar anak itu tidak ikut pergi bersama Caca, "Oh iya, kalau ada telpon dari Pandu angkat aja, bilang gue lagi di toilet.." Kata Caca sebelum pergi.

Aku mengangguk dan menemani Divia. Aku juga membantunya untuk menyuapi Divia untuk menghabiskan cream soupnya. Divia anak yang pintar dan hiperaktif, dia tidak akan berhenti bergerak jika belum kelelahan dan mengantuk, sama seperti Caca.

Saat aku sibuk menyuapi Divia, aku tidak sadar telah mengabaikan whatsapp call dari Pandu. Aku membuka whatsapp milik Caca berniat untuk menghubungi Pandu kembali tetapi sebuah foto kiriman Pandu membuatku penasaran.

'Look what I've found!'

Aku menutup mulutku yang refleks terbuka begitu melihat sebuah foto yang dikirim oleh Pandu dari Sydney. Di dalam foto itu ada sepasang kekasih yang tertidur di atas kasur tanpa busana, hanya ditutupi dengan selimut putih tebal. Dan laki-laki itu...

Deva?

***

Setelah kelas selesai, aku meminta izin kepada Shella untuk pulang terlebih dahulu. Aku langsung keluar dari gedung dan masuk ke dalam mobil milik Arsaka.

"Gimana tadi?" Aku menoleh ke bangku belakang, Arsaka menyimpan dua buah kamera dan beberapa lensa 'mainannya'.

"Agak gerimis jadi gloomy fotonya." Katanya cengengesan.

Bulan depan Arsaka akan diwisuda dan dia sedang menikmati liburannya sebelum mempersiapkan hari spesialnya itu. Arsaka juga mengajukan beberapa lamaran ke perusahaan yang dia inginkan.

"Ada yang cantik, gak?" godanya. Dia selalu ingin memiliki pacar seorang pramugari dan dia selalu bertanya hal itu jika dia memiliki kesempatan untuk menjemputku pulang setelah mengajar.

"Gak," cetusku, "cantikan yang ngajar."

"Yeee!"

Dia menoyor kepalaku. Kami tertawa bersama-sama dan menikmati kemacetan Jakarta yang sudah sangat lama tidak kurasakan.

Aku, Arsaka, dan Papa menikmati makan malam di rumah. Arsaka tidak memiliki sosok ayah dan aku tidak memiliki sosok ibu, kami saling melengkapi. Papa juga tidak keberatan jika Arsaka berkunjung ke rumah, dia seperti pengganti Kak Beno yang sibuk dengan pekerjaannya.

Keesokan harinya, Arsaka mengajakku ke sebuah tempat, tepatnya ujung landasan Bandar Udara Sokarno-Hatta. Aku menyusuri trotoar mengikuti Arsaka dari belakang. Kami melewati jalan kecil dengan dinding di sekitarnya, mirip seperti labirin. Setelah melewati itu, kami menemukan sebuah lapangan luas dengan jembatan kecil di ujungnya, di sana lah kami duduk dan menunggu pesawat satu persatu melintas di atas kami, benar-benar di atas kami.

Aku duduk di salah satu sisi jembatan dan memandangi pesawat yang sedang berbaris menunggu giliran
untuk menjajaki langit. Salah satunya adalah pesawatku dulu, pesawat merah, dengan ukuran yang tidak begitu besar namun terdepan dalam teknologinya.

I miss my job.

Salah satu quotes dari Henry Ford yang terkenal tentang pesawat. Sejumlah kata yang menggambarkan hubungan benda terbang itu dengan kehidupan yang kita alami sehari-hari.

Orang awam menganggap benda itu bukan apa-apa, hanya sebuah transportasi hi-tech dan mahal tetapi pada akhirnya akan disamakan dengan transportasi lain. Bagiku, pesawat terbang adalah salah satu dari impian, impian setiap orang sepertiku. Tempat sempit itu bisa membawamu ke sebuah kehidupan yang baru bahkan kesakitan dan kekecewaan yang tak pernah berhenti.

"Aira!" Arsaka memanggilku dari tengah lapangan. Dia menunjuk ke arah pesawat yang sedang melakukan final approach.

Aku tersenyum dan memberikan isyarat 'ok' dengan jariku. Pesawat itu melintas di atasku dengan gagahnya. Aku memejamkan mata, menikmati setiap hembusan angin yang menerpaku.

Arsaka menunjukkan hasil fotonya kepadaku. Tidak diragukan lagi, Arsaka adalah fotografer yang sangat hebat dan berbakat, dia mengabadikan momen-momen pesawat mendarat dengan sempurna.

Kami dikagetkan dengan kemunculan seorang pria yang berlari dari sebuah pos, aku dan Arska langsung membereskan barang-barang kami dan pergi dari tempat itu.

"Kabuuurr!"

Devair (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang