This is How We Start Our Real Story

16K 662 16
                                    

Aira Frenelia : This is How We Start Our Real Story (End)

"Kenapa Mama gak bilang-bilang kalau mau ke Jakarta?"

"Emangnya Mama harus bilang-bilang kalau Mama mau ke Jakarta?"

Aku menghela nafas sambil memotong wortel di dapur, memperhatikan percakapan antara ibu dan anak ini. Sedangkan Om Arman, Papanya Deva membantuku untuk membuat sup untuk teman si ayam KFC. Aneh ya? Istrinya duduk santai sambil membaca Time—Mamanya Deva itu emang sedikit modern dari mama mama lainnya—sedangkan suaminya di dapur memakai celemek membantuku mengiris daging.

"Ini 'kan surrprise buat kamu, Dev.. Mama kangen sama kamu.."

Deva melirikku sebentar kemudian kembali menatap Mamanya. "Mama punya urusan lain di sini?"

"Kok kamu ngomongnya gitu sih?"

"Maksud Deva 'kan baik Ma, Mama ada urusan lain gak di sini? Soalnya besok aku harus terbang ke Bali, lanjut ke Jeddah, Mama gak apa-apa ditinggal sendirian di sini?"

Setelah merebus air, aku memasukkan daging terlebih dahulu ke dalamnya. "Mereka memang sering kaya gitu Ra, maklumin aja ya mertuamu itu." kata Om Arman bercanda.

Mertua?

"Kamu itu loh Dev, suka lupa sama Papamu. Kita bisa minjam mobil kamu buat jalan-jalan di sini, 'kan?"

Aku tertawa kecil mendengar pertengkaran antara Deva dan Mamanya setelah itu. Sampai sup yang kumasak matang, mereka masih saja meributkan hal-hal kecil. Aku menutup mataku kuat-kuat menahan rasa kantuk dan lelahku. Rute empat hari sangat melelahkan. Aku tidak berada di Jakarta selama beberapa hari dan itu membuatku rindu dengan kasurku dan juga waktu bersamaku dengan Deva. Aku cukup bersalah karena secara halus menolak tawarannya untuk makan siang di RoCa Thamrin. Tapi mau bagaimana lagi, aku terlalu lelah untuk sekedar duduk dan menikmati Crispy Seared Norwegian Salmon.

"Gimana kerjaan kamu?"

Selama beberapa jam aku bertemu dengan kedua orang tua mereka, baru kali ini Mamanya Deva mau bertanya dengan intonasi rendah. Kalian ingat 'kan dengan sikapnya saat di Solo?

"Baik, Tante."

"Jam terbang kamu gimana?"

Hm, beliau sangat mengerti tentang pekerjaan ini, ya?

"Lumayan padat sampai akhir tahun ini.." serius ya, aku tidak tahu harus melanjutkan percakapan kami seperti apa, karena jujur saja aku masih agak canggung dengan sikapnya yang tiba-tiba baik seperti ini.

"Ehm, rumah apa kabar, Ma? Papa gak ada rencana pindah ke Jakarta?"

Thanks, God. Deva mengalihkan perhatian Mamanya dariku.

Om Arman duduk di sebelah istrinya sambil membawa satu mangkuk penuh berisi sup daging yang kami buat bersama. "Papa dapet promosi ke Jakarta, tapi Papa belum punya niat untuk kerja di pusat. Masih banyak yang harus Papa pikirkan."

"Loh, bukannya bagus ya Om kalau pindah ke pusat? Jadi sering kumpul sama Deva," kataku ikut nimbrung. Aku selalu ingin mendengar Kak Beno berkata 'aku pindah ke pusat' yang dimana pusat adalah Jakarta. Berkumpul bersama keluarga setiap pulang terbang sangat menyenangkan, bukan?

"Ya... Om juga harus memikirkan beban kerja di sana. Memang gaji gak masalah, tapi kalau di Solo aja sering dinas keluar kota, apalagi di Jakarta? Pasti lebih sibuk daripada itu, 'kan?" ujar Om Arman memberi penjelasan. "Oh iya, kalian sering ketemu gak? Om tahu pekerjaan kalian itu sama-sama sibuk, takutnya ada masalah."

Well, arah pembicaraan ini kenapa selalu berakhir dengan hubunganku dan Deva, ya?

Tante Rianti—somehow, I love her name—mengambil sesendok nasi dan meletakannya di atas piring, "Kalian 'kan mau menikah, masa jarang ketemu?"

Devair (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang