Chapter One

3.4K 76 2
                                    

SEBELUM AKU TERTABRAK SEKALIPUN, INI sudah menjadi hari yang buruk untukku.

Tadinya tulangku dibuat remuk oleh bus sekolah yang tiba-tiba menyerudukku dari samping sehingga aku dapat mendengar bunyi tulang rusukku hancur sebelum terpental ke tengah jalan. Sekarang malah lebih buruk lagi. Aku merasa otakku bagaikan dilindas bus sekolah berulang kali.

Aku terbangun di sebuah kamar yang tidak kukenali. Kamar ini sangat kecil, hanya ada tempat tidur, meja kecil, dan pintu kayu yang sepertinya sudah usang dimakan rayap. Aku yakin aku tidak hilang ingatan atau mengalami gegar otak. Harusnya aku sedang berada di kamar rumah sakit alih-alih di kamar mini ini.

Aku mencoba menegakkan tubuhku perlahan-lahan, mencoba menghindari sakit ngilu akibat tulangku yang belum sembuh total dan tubuhku yang babak belur. Aku berhasil duduk bersandar di tepi ranjang dengan mulus tanpa merasa kesakitan sedikit pun, mungkin efek obat bius. Aku mengernyit melihat pantulan diriku di cermin. Sebelumnya tidak ada cermin disitu. Aku yakin itu. Kulihat kulitku yang mulus tanpa bekas luka sedikit pun. Bahkan rambutku masih rapi bertekstur dengan tatanan khasku tiap hari. Keadaan bertambah buruk (lagi) setelah aku menyadari bahwa baju yang aku kenakan masih sama dengan baju yang kukenakan saat dikecup bus sekolah. Kaos biru malam berkerah V dengan celana jins dan sepatu coklat kesayanganku. Seharusnya pakaianku sudah robek-robek 'kan? Ini benar-benar horor. Tubuhku menegang, aku berdiri mendekat ke cermin dan mengamati tubuhku sendiri seakan sedang mengamati kulkas yang ingin ku beli. Tidak mungkin! Ini sulit untuk dipercaya! Aku melepas kaosku untuk lebih memastikan apa yang kulihat. Aku meraba setiap inci wajahku dengan takjub, Apakah ini yang namanya keajaiban operasi plastik?

Mungkin ini adalah kali pertama dalam hidupku aku menatapi tubuh dan wajahku sendiri dengan sangat lama. Tapi akhirnya perhatianku berhasil teralihkan. Kamar kecil ini membuatku sangat frustasi. Tidak ada jendela, tidak ada TV, bahkan tidak ada cemilan!

Aku mencoba sekuat tenaga untuk mengingat kenapa aku bisa sampai ke tempat ini, sayangnya itu tak membuahkan hasil.

Aku mengenakan kembali bajuku dan memeriksa sekelilingku. Aku membuka laci meja dan menemukan segulungan uang dan sebuah pistol yang pelurunya lengkap ditambah 3 magasin untuk isi ulang.

Wow, apa ini hadiah kesembuhanku? Kuharap tidak karna ini ...sedikit terlalu ekstrim. Pistol ini jelas sebuah pertanda buruk. Kusimpan magasin-magasin itu ke dalam saku celanaku walaupun sedikit dipaksakan karena sakuku kurang besar, sehingga magasinnya masih menyembul separuhnya. Aku mengangkat pistolku dan menarik pelatuknya.

Bersikap seakan-akan pernah menembak orang bukanlah ide yang buruk, tapi tanganku sudah gemetaran hebat yang jelas memberikan kesan pecundang sok hebat sementara rambutku sendiri mulai basah karna keringat. Kamar ini tidak ada ventilasi untuk sirkulasi udara. Mataku mulai awas dari segala ke-mungkinan yang ada di balik pintu itu dan berjalan menyelinap untuk meminimalisir suara langkah kakiku.

Siapa pun yang meninggalkanku di kamar sempit dengan segulungan uang dan pistol pastilah punya rencana tidak menyenangkan. Mungkinkah aku sedang ditawan teroris? Dan dibalik pintu itu laki-laki besar dengan wajah penuh luka dan otot bertato sedang berbaris sambil menyiagakan senapan seukuran manusia mereka. Bazooka malah jauh lebih parah.

Tapi itu semua ternyata tidak ada. Yang ada hanyalah kendaraan dan para pejalan kaki yang berlalu lalang. Semuanya menjadi lebih membingungkan ketika aku menyadari bahwa kamar itu sudah tidak ada lagi dibelakangku dan digantikan dengan toko serba ada. Aku menyimpan kembali pistolku ke saku celanaku untuk berjaga-jaga kalau-kalau pria besar dengan senapan mesin itu memang ada.

Awalnya tidak ada yang aneh. Tapi lama kelamaan, memang ada sesuaru aneh. Orang-orang berjalan melaluiku dan menyenggolku seakan aku tak pernah ada. Aku mencoba untuk mengambil perhatian orang-orang dengan menyenggol balik atau menonjoknya, mereka hanya mengernyit kesakitan sambil mencari-cari orang yang memukulnya lalu berjalan begitu saja. Apa yang salah? Apakah aku sudah mati? Kenapa mereka semua tidak melihatku?  Orang-orang mengacuhkanku begitu saja.

Emosiku menjadi tak karuan. Tapi setelah kupikir-pikir akubukanlah hantu. Aku bisa melakukan semua yang bisa dilakukan oleh manusia yang masih hidup. Hantu jelas-jelas tidak bisa melakukan itu, tapi orang-orang jelas tidak merespon terhadapku sekalipun mereka melihatku. Mereka hanya mengacuhkanku seakan aku adalah anjing liar yang sedang kelaparan. Aku menjadikan para pejalan kaki target melampiaskan amarahku. Setiap ada orang yang melewatiku langsung saja kutonjok sambil terus berjalan dengan marah dan frustasi. Kepalaku serasa ditindihi kamus setebal 50cm.

Aku nyaris saja berhasil menonjok seorang perempuan dengan tinjuanku jika saja cewek ini tidak menangkis tinjuanku dengan tangan kiri dan meninju balas perutku sampai-sampai aku jatuh berlutut sambil menggerang di hadapan cewek itu.

"Wow! Apa-apaan itu tadi bung?! Kau ingin meninju seorang gadis pejalan kaki yang tak berdosa?" matanya melotot dan sepertinya perempuan itu sama kagetnya dengan diriku. "Hei kamu tidak mati kan?"

Tinjuan gadis itu ternyata jauh lebih kuat daripada tinjuanku sendiri. Perutku serasa berubah bentuk setelah terkena tinjuannya. Aku terbatuk-batuk dan mencoba berbicara. "Tinjuan macam apa itu?" suaraku menjadi parau.

"Oh, itu tinjuan—"

"KAU MERESPONKU! Kukira aku satu-satunya yang waras disini. Kenapa semua orang bertingkah seakan-akan aku adalah kotoran anjing? Terus kenapa—" wanita itu berlutut dihadapanku, memperhatikanku dengan teliti. Dia sedikit lebih muda dariku. Mungkin belum mencapai 20 tahun Matanya yang hijau seperti hamparan hutan yang membentang di hadapan. Rambutnya pendeknya coklat dengan sedikit bagian yang berwarna hitam diikatnya kebelakang. Poninya dibiarkan sedikit berantakkan namun ditata kesamping dahinya.

"Siapa namamu? Kau sangat cantik. Seperti—entahlah, kau seperti Malaikat Maut. Malaikat Maut yang cantik." kata-kata itu spontan keluar saja dari mulutku. Aku baru saja menurunkan nilai jualku.

"Aww kau sangat manis. Namaku Reyna, dan aku biasanya menjadi penindas pria manis." dia berkedip dan menyinggungkan senyum miring liciknya. Paling tidak itu merupakan sebuah pujian.

"Jadi kau orang kebal juga?" tanya Reyna.

"Orang kebal?"

"Ya, orang kebal."

"Kurasa iya. Aku baru saja sadar setelah aku mendengar bunyi tulangku yang patah gara-gara ditabrak bus sekolah dengan kecepatan 80 km/jam, 99% survey mengatakan aku akan mati tetapi aku malah hidup dengan tubuh tanpa lecet sedikit pun. Sejauh ini kurasa aku memang orang kebal. Apa itu definisi kebal yang kau maksud?"

"Itu sangat tidak masuk akal. Jangan berharap kau bisa menipuku dengan cara seperti itu," Reyna menggelengkan kepalanya dan melemparkan tatapan kecewa dan iba padaku. Dia memang ahli menindas orang.

"Tapi itulah kenyataannya! Aku bahkan bukan berasal dari sini! Aku dari Los Angeles! Kumohon percayalah padaku!" ini bodoh, mataku mulai berkaca-kaca tapi aku menahannya sebisa mungkin untuk tidak menangis. Aku tidak akan menangis di depan seorang perempuan yang baru kutemui. Aku bertemu satu-satunya orang yang bisa meresponku dan sekarang orang itu tidak menganggapku serius. "Dimana ini?"

"Kita di New York. Kurasa kau harus bertemu dengan seseorang. Mungkin dia bisa menjelaskan apa yang terjadi padamu. Aku akan berusaha untuk menolongmu, aku janji." ekspresinya menjadi sangat serius. "Kali ini aku benar-benar serius. Aku tak akan mengingkarinya." Reyna berdiri dengan sigap dan mengulurkan tangannya kepadaku, dia membantuku berdiri. Genggaman tangan Reyna sangat kuat untuk ukuran seorang perempuan remaja. Tangan-tangannya tegas dan cekatan.

Kami sudah duduk di tengah trotoar jalan cukup lama sehingga lutut-lututku terasa nyeri ketika berdiri. Jika saja Reyna tidak memeganginya saat ini bisa-bisa dia sudah langsung tersungkur ke tanah ketika mencoba untuk berdiri.

"Ayo kita berkunjung ke rumahku." Reyna menyinggungkan senyum miringnya yang jahil dan licik.

Aku benar-benar merasa antusias sekarang, walaupun sedikit agak khawatir. Aku akhirnya bisa ber-bahagia karna akhirnya aku bertemu dengan orang yang bisa meresponku dan berjanji akan menolongku. Tapi bagaimana jika ternyata aku memang hantu? Dan Reyna ada lah hantu juga sama sepertiku? Atau bagaimana jika ternyata aku sedang diculik dan dimasukan bahan kimia berbahaya ke dalam tubuhku sehingga orang-orang mengacuhkan dan menghindariku.

Aku memang baru mengenal Reyna setengah jam yang lalu, tapi Reyna sudah berjanji akan menolongku. Reyna jelas memberikan harapan kepadaku. Membantu-ku mencari jawaban atas kejadian yang menimpaku ini. Kuharap dia jujur. Aku benar-benar membutuhkan bantuannya.

ResistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang