EPILOG
Jadi di sinilah aku sekarang. Sekali lagi berada di dunia yang aneh tanpa kehadiran Abigail. Tapi syukurlah ada mereka.
Eames dan Morris berpacaran seperti anak kecil. Aneh rasanya melihat Eames yang biasanya gagah dan sangar bersikap malu-malu ketika berjalan dengan Morris.
Profesor Ludwig melanjutkan pekerjaannya sebagai seorang dosen. Disamping itu dia mendirikan sebuah yayasan untuk anak-anak yatim piatu bernama Katie Loves You. Dia mendedikasikannya untuk anaknya. Itu semua membuatnya terlihat seperti Bruce Wayne, Keren.
Perren dan Ayahnya memutuskan untuk pindah ke New York. Mereka berdua memutuskan untuk memulai hubungan anak dan ayah dari awal lagi. Dia memaksaku untuk “mencicipi” kuliah. Jujur saja aku merasa iba ketika dia memohon sambil berlutut di hadapanku. Mau tak mau aku menerima ajakkannya, lagipula aku bosan jadi pengangguran. Ayah dan ibuku menanggapinya dengan antusias. Akhirnya anak mereka ingin menjadi manusia normal. Berbahagialah.
Aku mengambil jurusan jurnalistik, membuatku terlihat pintar bukan? Perren juga memutuskan untuk pindah ke Universitas New York. Dia menjadi seniorku di kampus. Aneh rasanya.
Aku tetap menjalin komunikasi dengan Abigail. Ternyata dia juga memutuskan untuk mengambil kuliah di Universitas New York. Itu membuat kami satu kampus, bahkan satu jurusan… Satu kelas! Maafkan aku karena terlalu bersemangat. Kami berteman baik di sini, sangat akrab, dan tidak saling mengungkit masa lalu. Atau memang dia sudah melupakan semuanya. Beberapa kali aku mencoba memancing ingatannya tapi dia tetap tidak terpancing. Dia benar-benar melupakannya. Cepat sekali bukan? Kuharap dia hanya berpura-pura melupakannya.
Walaupun Pikiranku terus memerintah raga ini agar kesakitan, tapi hatiku sudah kebal. Aku sudah tidak merasa sakit lagi. Aku hanya bisa merasa jatuh cinta, dalam dan lebih dalam lagi. Hanya kepadanya. Inikah yang dimaksud takdir? Logika yang bisa dihindari tapi kuasaku berkata lain? Aku memang manusia hiperbola.
Aku benci membahas ini tapi… Aku selalu percaya bahwa memori adalah hal yang harus selalu diingat, tidak peduli seberapa buruk atau menyakitkannya itu. Karena memang untuk itulah memori diciptakan. Untuk menjadi sebuah pelajaran, atau sekedar untuk disesali maupun di tertawakan. Dan aku juga percaya bahwa dari sekian juta memori yang dimiliki manusia, memori pertama adalah yang paling kuat. Entah itu terjadi pada dirimu sendiri atau kau hanya menyaksikan orang lain melakukannya. Memori saat pertama kali tenggelam, bersepeda, juara kelas, dilecehkan, berpacaran, kehilangan anggota keluarga, lupa membawa uang saat makan di restoran, pergi ke pesta dansa, semuanya. Semuanya. Dia, Abigail sudah beberapa kali menjadi yang pertamakali bagiku. Pertemuan pertama kami, kesan pertamaku padanya, pelukannya, tangisnya, tawanya, amukannya, ciumannya, cintanya. Jujur aku tidak tahu harus berbuat apa dengan semua memori itu. Aku menangis, tertawa, menyesal, ataupun histeris ketika mengingat semuanya. Aku tidak bisa melupakannya. Aku memang tidak berniat melupakan-nya. Waktu itu aku tahu, jika aku mencium perempuan ini aku takkan pernah bisa lepas dari dirinya. Aku akan terus jatuh cinta kepadanya
Kesalahanku selama ini adalah aku selalu mempercayai kemungkinan yang salah. Bahwa dia merasakan apa yang kurasakan terhadapnya. Setidaknya memang begitu. Selamanya pun takkan cukup untuk melupakannya.
Tapi semakin jauh aku menjalin “hubungan” baruku dengan Abigail, semakin jauh juga aku menyadarinya. Menyadari bahwa apa yang kulakukan selama ini sia-sia. Menyadari bahwa aku benar-benar anak baru dalam kehidupannya. Disaat memori-memoriku dengannya memenuhi pikiranku, dia tak mengingat satu pun. Aku hanya bisa tersenyum ketika mengingat betapa menyedihkannya diriku. Aku selalu berusaha untuk mengulang masa lalu, tapi itu tidak ada gunanya. Dia membuatku terlihat seperti manusia hilang arah yang terjebak di tubuh seorang remaja mesum.
Mulai sekarang aku memutuskan untuk menulis ulang identitasku. Aku akan memperbaiki semuanya. Aku tidak akan tunduk kepada keadaan. Aku memutuskan ke sisi mana aku akan pergi. Aku muak terus terjebak di garis ini. Tapi semuanya memerlukan waktu. Jadi kita tunggu saja. Semoga kalian juga bisa memutuskan dimana kalian akan berada.
Sisi hitam atau sisi putih.
I’ll resist it
KAMU SEDANG MEMBACA
Resist
RandomPerren terbangun dari sebuah insiden yang seharusnya menewaskannya. Atau apakah dia memang sudah mati? Karena apa yang dia lihat sekarang sangatlah tidak nyata.