7

360 13 0
                                    

Hempasan itu diikuti oleh suara ledakan yang amat sangat nyaring. Aku merayap di bawah meja makan untuk meraih Abigail. Aku takut garpu makannya tertancap di tenggorokan karena terjatuh dari kursi. Untung saja, tidak ada garpu yang menancap di tenggorokannya, hanya saja pipinya berdarah karna tergores pisau di tangan kirinya.

“Gempa bumi?!” tanyanya panic.

“Bukan! Ini ledakan level 2. Basement sekarang!”

Aku menggapai tangan Abigail, setengah me-meluknya untuk mengantarkannya ke kamar, setidaknya agar dia aman sementara aku akan ke basement untuk mencari tau penyebab ledakan. Tanganku merayap memasuki sela-sela tempat tidurku untuk mencari pistol kusimpan untuk keadaan darurat.

“Harusnya kau tau cara menggunakannya karna aku sempat mengajarimu beberapa kali sebelum kau nyaris membunuhku,” Aku menyelipkan pistolku ke dalam genggaman tangannya. “ada 10 peluru ditambah satu di selongsongnya. Jika kurang ambil magasinnya di dalam sarung bantalku. Ingat, bahumu harus kuat lenganmu juga harus rata.”

“Sejak kapan kau tidur beralaskan senjata?” tanya Abigail kebingungan.

“Saat umurku masih enam atau tujuh tahun.” aku meraih pistol Perren beserta magasinnya di atas meja. Aku berlari seperti dikejar waktu, meninggalkan Abigail yang masih tampak kebingungan di belakangku.

Ketika sampai di tangga basement aku menyiagakan senjataku. Aku melangkah cepat menuruni tiap anak tangga tanpa bersuara. Aku bersembunyi di balik sofa. Debu berterbangan di sana-sini. Sempat beberapa kali mataku perih karena kemasukan debu. Aku bisa melihat dinding basementku yang bolong karena ledakan. Samar-samar aku melihat bayangan seseorang tersamarkan oleh debu-debu yang berterbangan. Aku otomatis langsung membidiknya tapi menahan tembakanku karna aku sangat tidak ingin salah tembak. Itu akan menghancurkan popularitasku.

Seakan diperintahkan, debu-debu tadi berlomba-lomba keluar mencari udara segar melewati lubang di dinding yang jebol. Seperti dihisap vacuum cleaner. Kurang dari 10 detik semua debu sudah tersapu bersih, meninggalkan seorang Reyna dengan pistol yang siap ditembakkan dengan seorang wanita berambut coklat yang wajahnya mengingatkanku akan seseorang. Aku menurunkan senjataku dan berjalan ke arahnya tanpa mengurangi kewaspadaanku sedikit pun.

“Jadi kau orang yang mengebom rumahku atau pejalan kaki yang secara kebetulan berada di sekitar TKP?” sebenarnya aku hanya bertanya basa-basi untuk memperkirakan segala kemungkinan. Seorang gadis yang mungkin sedikit lebih tua dariku dengan pakaian model 90-an, sepatu berhak sedang, dan tangan yang lembut dengan kuku panjang berkutek. Sejauh ini terlihat seperti pejalan kaki.

“Aku yang mengebom rumahmu.” jawabnya datar

“Tidak mungkin. Tanganmu sudah terlebih dulu memberikan jawabannya. Dilihat dari bekasnya, bomnya seperti dipasang dari dalam karena semua bongkahan dinding berada di luar. Setidaknya ada sedikit bongkah-an dinding yang masuk ke dalam. Tapi setelah dipikir-pikir lagi ledakan ini tidak diakibatkan oleh bom karena tidak ada bau mesiu sama sekali. Ledakannya terlalu rapi.”

“Analisis yang menarik. Aku memang tidak menggunakan bom sama sekali.” jawabnya enteng

“Jadi apa trikmu?” detak jantungku berpacu dengan cepat. Siapa wanita ini? Apa yang diinginkannya?

“Tidak ada trik apapun. Aku hanya memerintah-kannya seperti apa yang kuinginkan. Aku bahkan bisa melenyapkan rumahmu ini tanpa bergerak sedikit pun.” Dia tidak mengalihkan pandangannya dari mataku. Aku balas menatap matanya lekat-lekat. Mata coklatnya menyiratkan bahwa dia memang jujur. Aku maju beberapa langkah, hingga jarak kami tinggal beberapa meter. Wajahnya kaku namun tidak menandakan sedang dalam tekanan. Aku berusaha keras mencari kebenaran yang dia simpan.

ResistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang