16

211 8 1
                                    

AKU MEMANG TIDAK BISA MERASAKAN apa yang Reyna rasakan, tapi aku tahu rasanya pasti tidak menyenangkan. Sedari tadi dia hanya melamun, sambil sesekali menangis lalu tertawa sinis. Tidak ada yang berani mengusiknya.

“Kurasa aku sudah puas.” Reyna tersenyum kepadaku dan Morris. Wajahnya kusut. Mata dan hidungnya masih berair. Rambutnya yang biasanya berantakkan menjadi lebih berantakan lagi.

“Maksudmu?”

“Aku sudah puas menangis.” Jawabnya. Lagi-lagi dia tersenyum getir kepada kami. “Berapa lama lagi kita akan sampai di Paris?” tanyanya.

“Tiga jam lagi. Bagaimana perasaanmu, Reyna?”  Eames balik bertanya.

“Persis seperti kotoran hewan.” candanya.

“Tidak terlalu buruk,” sahut Eames. “Tidurlah, kau pasti lelah setelah menangis berjam-jam.”

“Apakah hatiku harus hancur bekeping-keping dahulu agar kau menjadi perhatian seperti itu padaku, Eames?”

“Tidak selalu.” jawab Eames sambil tertawa kecil.

Selama sesaat aku merasa bahagia melihat Reyna bisa kembali riang seperti sedia kala, tapi aku salah. Dia tidak semudah itu melepas semua masalahnya, tentu saja. Mata hijaunya berwarna lebih pekat dari biasanya. Aku bisa melihat kepedihannya terpancar dari matanya. Senyumnya tidaklah sama. Kemana perginya senyum miring yang jahil dan liciknya itu?

“Kau tahu ada dua tipe manusia di dunia ini.” kata Morris sambil berbisik. Tidak, dia tidak berbisik. Suaranya memang sangat pelan dan datar bila berbicara.

“Tipe pekerja dan tipe pemikir?”

“Teng-tong! jawabanmu salah. Jawaban yang benar adalah tipe romantis realistis dan tipe romantis sia-sia.”

“Ehm, jelaskan padaku.”

“Tipe romantis realistis adalah tipe orang-orang yang hanya memandang wajah dan mengharapkan kesenangannya saja, sedangkan tipe romantis sia-sia adalah orang yang jatuh cinta kemudian berdoa dalam hati agar Tuhan menjadikan mereka sebagai sepasang kekasih. Jadi apa tipemu?” jelas Morris dengan logat Jermannya.

Selagi Morris berbicara aku memperhatikan Reyna yang jatuh tertidur. Dalam tidur sekali pun garis-garis kesedihan di wajahnya masih bisa kulihat dengan jelas.

“Romantis realistis. Bagaimana denganmu?”

“Romantis omong kosong.” tangannya kembali memainkan ujung syal birunya itu.

“Bukankah kau bilang ada dua tipe?”

“Sebuah pengecualian untukku.”

“Lalu jelaskan kenapa.” pintaku.

“Karena aku tidak pernah diinginkan. Bersama kalian adalah rekor terlamaku dalam hal berteman. Orang-orang selalu datang dan pergi. Tidak ada yang benar-benar menetap.”

“Menjadi sendirian bukanlah sebuah pilihan. Orangtuaku menitipkan aku di panti asuhan ketika aku masih kecil. Aku tidak pernah melihat wajah mereka. Mereka tidak pernah mengunjungiku.” aku menekuk wajahku dalam-dalam. Setiap kali aku berbicara tentang orangtuaku bayangan masa lalu itu muncul di kepalaku.

“Setidaknya kau masih memiliki teman.”

“Setidaknya.” kataku. “aku penasaran bagaimana kau bisa mengetahui tentang kepergian Abigail.”

“Itu mudah saja,” Morris mengeluarkan sebuah kalkulator di saku dalam jasnya. “ingat soal alat yang kuciptakan? Kalkulator inilah yang kumaksud.”

ResistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang