“HEY, BANGUNLAH. Kau belum makan ‘kan? Makanlah. Aku membuatkanmu spaghetti.”
“Hmm,” aku menyipitkan mataku untuk mendapatkan pengelihatan yang lebih baik. “Dimana yang lain?”
“Mencari udara segar. Mereka muak dengan aroma rumah sakit.” Jawab Eames lembut.
Sejak kejadian itu semuanya berubah. Dunia telah normal kembali. Perren meninggali sebuah catatan atau surat atau apalah itu untuk dirinya sendiri jikalau dia hilang ingatan nanti. Kami langsung terbang ke Los Angeles tanpa berdebat. Kami mengunjungi rumah sakit di seluruh Los Angeles satu persatu untuk mencari pasien yang bernama Perren Julian Hedger. Kami menemukan-nya. Kulitnya pucat, jauh lebih pucat daripada yang kami lihat di Paris. Alat penopang hidup menempel di tubuhnya. Perban dimana-mana. Luka-luka di tubuhnya banyak meninggalkan jejak. Beberapa tulang rusuknya yang patah mulai merekat kembali. Itu bukanlah kabar baik mengingat dia koma selama setahun lamanya. Ya, sekarang sudah hampir 5 bulan kami menemaninya terbaring lemah di kamar ini. Soal orangtuaku, mereka rutin menanyai kabarku. Aku memberitahu mereka bahwa aku memiliki teman baru di Los Angeles. Mereka sangat terkesan mendengarnya dan mengizinkanku untuk pergi. Anak semata wayang mereka ini belum pernah memiliki teman sungguhan.
“Kau berubah.” Kata-kata Eames memangunkanku dari lamunanku.
“Ini sudah berjalan beberapa bulan dan kau baru mengatakan bahwa aku berubah? Ya, aku memang berubah. Kita semua berubah. Kau menjadi lebih lembut, Profesor Ludwig menjadi lebih berpikiran positif, Morris mulai kehilangan logat Jermannya, dan aku—”
“Kau jadi lebih pemurung.” potongnya sambil menyodorkan sepiring spaghetti kepadaku.
Aku menerimanya dan menyuap spaghetti itu dengan enggan. “Aku tidak murung. Aku memikirkan lebih banyak hal dalam satu waktu.”
“Sekarang kau seorang pemikir?”
“Aku memang seorang pemikir dari dulu. Ini semua merubah kita. Labirin-labirin itu bukanlah rintangan yang harus dilewati. Menyelamatkan dunia bukanlah misi kita. Ini semua adalah tentang mencari kebenaran dalam diri kita sendiri.”
“Baiklah. Kurasa aku setuju denganmu.”
“kau memang harus setuju denganku.” Aku menyuap spaghetti lagi kedalam mulutku. “dan aku belum menemukan kebenaran dalam diriku.”
“Kenapa?”
“Kau tahu ‘kan pada dasarnya sesuatu dibedakan atau dipisahkan menjadi dua secara garis besar; Realita-khayalan, hitam-putih, cantik-jelek, harum-bau, tinggi-pendek, mahal-murah, semuanya. Kadang aku berpikir bahwa yang memisahkan kedua hal yang saling berlawanan itu adalah garis yang sangat tipis. Lalu apa yang terjadi ketika kita berada ditengah-tengah? Di garis itu?”
“Berarti kita mengalami keduanya.” Jawabnya.
“Jenius. Sejak kapan kau pintar? Lupakan. Aku merasa aku tengah berada di garis itu. Di tengah garis yang membedakan antara kuat dan lemah. Entah aku terlalu kuat untuk bertahan dan merasakannya atau aku terlalu lemah untuk pergi dan melupakannya. Siapa yang tahu? Apa kau mengetahuinya? Aku tidak tahu. Yang kutahu mungkin aku akan terus terjebak di garis itu selamanya. Mungkin.” aku diam sejenak, memberi waktu untuk Eames memahami kata-kataku. “Masalah selanjutnya adalah aku tidak tahu sampai kapan garis pembatas itu bertahan. Apa yang terjadi bila aku tiba-tiba ‘meledak’ dan keluar dari garis itu? Apakah aku berhasil memihak pada satu sisi atau membuat sisi yang lainnya dan menjadikan semuanya tambah rumit. Apakah garis itu kuat sepeti titanium atau rapuh seperti kulit bayi? Lagi-lagi tidak ada yang mengetahuinya. Setidaknya belum mengetahuinya.
“Satu-satunya cara adalah menjalaninya.”
“Menjalaninya dan ikut terombang-ambing.” tambahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Resist
RandomPerren terbangun dari sebuah insiden yang seharusnya menewaskannya. Atau apakah dia memang sudah mati? Karena apa yang dia lihat sekarang sangatlah tidak nyata.