AKU MELEMPARKAN BOM ASAP YANG sudah kulepas pemicunya ke arah mereka. Mereka tidak bisa melihat apa-apa sekarang. Kutembakkan senapanku ke sembarang arah, berharap ada yang mengenai kepala mereka. Terdengar bunyi logam saling bertubrukan. Aku bisa melihat beberapa peluruku terpental keluar.
Aku menunggu beberapa saat. Memberi waktu agar kepulan asap itu menipis agar bisa mengetahui keadaan lawan. Bayangan Phobos dan Deimos berjalan keluar dari sergapan asap. Darah keemasan para dewa mengalir dari luka tembak mereka seperti air terjun. Deimos terlihat kurang beruntung, dia mendapatkan dua peluru yang bersarang di dahinya. Ternyata mereka memang kekal. Paling tidak mereka terlihat kesakitan.
“Tipu daya yang menarik.” Phobos mencoba mencungkil pecahan peluru dari bisepnya menggunakan pisau.
“Terimakasih”
Deimos melepaskan helmnya yang berlubang. “Aku jamin kami tidak akan tertipu lagi.”
“Coba saja.”
Aku menebaskan pedangku ke arah keduanya. Aku tau mereka akan menangkis seranganku. Tangan kiriku menembakkan senapanku ke arah mereka sampai selongsongannya kosong. Lembing Deimos terpelanting ke samping, aku menjauhkan lembingnya dari jangkauannya dan langsung menerjang ke arahnya. Dia sekarang bertarung dengan tangan kosong. Suatu keuntungan bagiku. Phobos berusaha menyerangku dari samping. Aku mengeluarkan pisauku dan menghalau pergerakannya. Deimos meninju perutku dan membuatku tersungkur di tanah. Aku segera berguling ke samping sebelum gladius Phobos menembus ruang di mataku. Gladius dan kepalan tangan Deimos berulang kali menggores, menonjok, membanting, dan menusuk tubuhku. Aku mulai kehilangan kesadaran. Gagang gladius Phobos membentur pelipisku dengan sangat kuat. Aku jatuh tersungkur. Pengelihatanku samar karena darah yang menutupi mataku. Telingaku berdenging. Deimos sudah mendapatkan lembingnya kembali. Aku sudah terkepung. Mereka bisa membunuhku kapan saja.
“Kita berdua tau bahwa kami bisa membunuhmu kapan saja.” kata Phobos mengelap darahku yang menempel di pedangnya.
“Lakukan dengan cepat.”
“Kau harus mengalahkan kami, bukan menang melawan kami.”
“Aku tidak bi—”
Kau harus bisa membedakan mana yang nyata
Kau tidak boleh mempercayai yang tidak nyata
Kau harus mengalahkan kami
Bukan menang melawan kami
Kenapa aku baru memahaminya?
Selama ini itulah yang mereka maksud. Aku selalu mempercayai hal-hal kuno. Aku percaya atas eksistensi para Dewa Yunani ataupun dewa dari mitologi lain. Aku meyakini bahwa mereka itu nyata, walaupun dalam aspek yang berbeda. Itulah kesalahanku selama ini. Aku berpegangan pada hal yang sebenarnya tidak pernah ada. Dan sekarang mereka yang tidak pernah ada itu menyadarkanku bahwa mereka tidak pernah ada. Aku tidak pernah mempercayai kenyataan yang ada dihadapanku. Aku selalu melarikan diri dari kenyataan. Khayalan-khayalanku. Khayalan adalah pelarianku.
“Kalian tidak nyata. Kalian tidak nyata! Kalian hanya dongeng pengantar tidur! Aku tidak percaya dengan kalian,” Mereka berdua terkejut. “aku tidak mempercayai keberadaan kalian. Aku mengalahkan kalian karena aku nyata dan kalian tidak. Aku mengalah-kan kalian.” aku berhasil. Aku pasti berhasil melewati ujian ini.
“Kau benar. Kami tidak nyata. Itulah kelemahan kami.” Phobos duduk di hadapanku dengan menekuk satu lutunya.
Deimos mengikuti apa yang dilakukan saudaranya. “Jangan pernah biarkan dirimu terlena kepada sesuatu yang tidak nyata. Ide adalah hal paling mematikan di dunia. Ide sesederhana apapun bisa mempengaruhi manusia untuk melakukan hal yang jauh lebih besar.”
“Berpikiran bahwa kami nyata adalah sebuah ide kecil yang bisa menghancurkan dirimu. Kau berhasil mengalahkan kami. Kalian akan melanjutkan perjalanan kalian.” lanjut Phobos.
Kabut-kabut itu muncul lagi.
Phobos, Deimos, dan Hydra secara perlahan tersamarkan. Aku memaksakan mataku agar tetap terbuka walaupun nyeri di kepalaku makin menjadi. Masih ada harapan. Dunia ini belum sepenuhnya tidak nyata. Aku membaringkan tubuhku yang sudah kepayah-an di tanah. Sudah lama aku tidak merasakan sinar matahari sore yang sendu seperti ini. Hari ini aku tidak jadi mati, begitu pula teman-temanku. Jadi kupejamkan saja mataku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Resist
RandomPerren terbangun dari sebuah insiden yang seharusnya menewaskannya. Atau apakah dia memang sudah mati? Karena apa yang dia lihat sekarang sangatlah tidak nyata.