12

201 9 0
                                    


“SELAMAT PAGI TUKANG TIDUR.” wajah Reyna lantas mengagetkanku. “Kau telah lancang karena menjadi pahlawan yang menyelamatkan kami. Sen-di-ri-an.” Reyna membenarkan posisi bantalku dan membantu-ku untuk bersandar.

“Itu karena kalian semua pingsan dan dijaga oleh Hydra berkepala tujuh.”

“Pingsan? Hal terakhir yang kuingat aku diserang kantuk berat sehingga aku jatuh tertidur. Lalu aku merasakan ada yang menyeretku. Aku cuek saja karena aku sangat mengantuk waktu itu.” Reyna mengangkat bahu seperti biasa.

“Enak sekali. Sedangkan aku mati-matian melawan dua dewa kekal sekaligus. Phobos dan Deimos. Dewa Rasa Takut dan Dewa Teror.”

“Dewa hanya hebat dalam memerintah, mereka bukan petarung yang handal. Buktinya kau bisa selamat. Lukamu juga tidak terlalu parah.” dia meninggikan suaranya. Jelas dia sedang iri besar padaku.

“Teserah sajalah. Mana yang lain?”

“Abigail sedang mandi sedangkan Eames dan Profesor pergi ke kota untuk membeli sarapan.”

“Kenapa tidak langsung ke tempat makan saja.” tanyaku.

“Jangan bodoh. Kau masih belum bisa terlalu bergerak. Aku tidak mau terus-terusan menggendongmu sepanjang jalan hanya untuk semangkuk bubur.”

“Mengesankan. Kalian peduli padaku.”

Pintu kamar mandi terbuka dan mengeluarkan uap-uap air panas. Abby muncul hanya dengan handuk yang dililitkan di sekeliling tubuhnya. Rambut pirangnya yang basah memberikan kesan seksi di wajahnya yang kalem itu.

“Perren? Kenapa kau tidak bilang bahwa dia sudah sadar.” tanyanya setengah berteriak pada Reyna.

“Dia baru saja sadar. Apa kau sangat senang melihatnya sudah sadar?” aku bisa mendengar nada cemburu di kata-kata Reyna.

“Tentu aku senang, tapi dia itu pria dan aku hanya memakai handuk!”

Aku hanya menggeleng melihat kedua perempuan ini beragrumen. “Kalau begitu masuk lagi ke kamar mandi.” kata Reyna.

“Pakaianku ada di lemari!”

“Kau hanya perlu mengambilnya.”

“Lemarinya terlalu jauh denganku dan terlalu dekat dengan Perren. Aku malu Reyna, tidakkah kau mengerti itu?”

Reyna mendengus kesal dan beranjak dari kursi-nya. “Aku akan mengambilkannya untuk mu. Begitukan?”

Abby hanya mengangguk cepat sambil terseyum jahil.

“Nah, Gadis Baik. Aku akan menunggu di dalam. Ketuk dulu pintunya.” Abby pun masuk lagike kamar mandi.

“Aku tau apa yang akan kau katakan. Dia adalah kelemahanku.” katanya sambil mengambilkan pakaian Abby di lemari. Padahal aku mau bilang kalau sebaiknya Reyna melucuti handuk Abby dari tubuhnya.

“Abigail, ini pakaianmu!” kata Reyna sambil mengetuk pintu. Tidak lama kemudian pintu itu terbuka.

Abby membolak-balikkan pakaiannya yang masih di tangan Reyna. “Mana braku?”

“Habis,” celetuk Reyna.

“Tidak mungkin habis. Aku baru memakainya satu.”

“Kau jauh lebih keren tanpa itu daripada saat kau memakai benda mengerikan itu.”

“Banyak omong. Kau juga memakainya, bahkan disaat tidur.”

“Itu lain cerita.”

“Oh yang benar saja.”

ResistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang