SEPERTINYA MORRIS SEDANG MENGALAMI YANG namanya jatuh cinta pada pandangan pertama. Bukan kepadaku, melainkan dengan Eames. Aku duduk di tengah-tengah dua sejoli ini sedangkan Ludwig masih sibuk dengan kalkulator ajaib Morris dan Reyna masih mendengkur pelan. Mereka berdua membuatku merasa seperti obat nyamuk.
Aku berdiri dari tempat dudukku. “Sepertinya aku duduk di ruang kendali saja.”
“Akhirnya kau peka juga.” timpal Morris.
“Kau merasa terganggu?” tanya Eames.
“Yah, sebenarnya tidak juga. Aku sedang ingin melihat pemandangan.”
Eames memutar bola matanya. “Hanya akan ada awan dan perairan.”
“Biarkan saja jika dia ingin sendiri. Seharusnya kau senang dia memberikan kita privasi untuk saling mengenal satu sama lain.” Kata Morris pada Eames. Eames yang macho akan jadi lembek jika berhadapan dengan wanita (tidak termasuk Reyna).
“Sebaiknya kau turuti kata-katanya. Jangan khawatir, aku tidak akan memencet tombol apapun.” Eames hanya mendengus kesal. Jelas-jelas dia grogi jika ditinggal berduaan dengan Morris. Siapa sangka Eames yang gagahnya kelewatan tidak sanggup ditinggal sendirian untuk berbincang-bincang dengan seorang wanita.
Benar kata Eames, ternyata pemandangan di sini tidak terlalu menarik. Membosankan malah. Kau hanya bisa melihat dataran biru atau lapisan awan tipis sesekali.
Kulirik pemandangan di bekalangku sesekali. Eames masih terlihat asik dengan Morris. Ralat. Morris masih terlihat asik dengan Eames. Dia sangat kaku jika berhadapan dengan wanita tulen. Beberapa kali dia sempat salah tingkah. Ludwig masih dengan posisi yang sama, asik dengan kalkulator Morris. Setelah beberapa hari berteman dengannya aku mengetahui ternyata Ludwig adalah seorang maniak teknologi. Aku berani bertaruh Ludwig akan meminjam kalkulator itu dan terjaga semalam hanya untuk memecahkan cara kerja alat itu.
Reyna masih terkulai lemah. Sesuatu membasahi pipinya. Keringatkah itu? Atau dia menangis dalam tidur? Aku memang tidak ahli dalam perkara cinta, tapi aku bisa dengan jelas melihat bahwa Reyna benar-benar mencintai Abigail. Caranya menatap Abigail adalah cara semua wanita ingin dipandang. Sekali banyak aku pernah memergokinya “mengintip” Abigail sedang berbicara dengan Eames dan Ludwig. Dia memgumamkan sesuatu yang tidak terlalu jelas kudengar tapi aku yakin dia berkata seperti ini. “Ya ampun, lihatlah caranya tersenyum! Bibir simetrisnya itu sangat menawan! Oh tidak! Dia mengangkat sebelah alisnya! Aku akan mati jika dia terlalu lama melakukan itu. Astaga, betapa dia sudah menjadi candu bagiku. Rasanya setiap saat aku jatuh cinta padanya. Setiap saat aku merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya. Beruntungnya aku!”
Kami sudah mendekati akhir. Aku sudah siap dengan semua kemungkinan yang akan terjadi Paris nanti. Baik secara fisik atau psikis. Kuharap teman-temanku yang juga demikian. Setelah semua ini berakhir apa yang akan terjadi? Aku tidak ingin kembali ke kehidupan lamaku.
Pikiranku membawaku kembali ke rumah. Los Angeles. Panti asuhan. Biasanya aku adalah orang yang bangun paling pagi. Bukan tanpa alasan, aku bangun pagi untuk langsung bergegas ke McDonald’s. Di situlah aku bekerja. Pekerjaanku tidak terlalu hebat, hanya seorang pramusaji. Aku memiliki motif tersembunyi untuk bekerja di situ: WiFi gratis. Siapa yang tidak tegoda dengan WiFi gratis? Sambil bekerja aku mengunduh video yang kuanggap menarik. Kebanyakan sih video bela diri. Sehabis bekerja paruh waktu di McDonald’s aku langsung melangkahkan kakiku ke Universitas Los Angeles. Di situlah aku menuntut ilmu. Jangan tanya kenapa aku bisa berkuliah di situ, karena aku pun tak tau. Surat permohonan datang dari pihak universitas dan memintaku untuk berkuliah di situ. Seluruh penghuni panti asuhan bergembira dengan isi surat itu. Padahal aku ingin menolaknya mentah-mentah tapi mereka terus mendesakku untuk menerima beasiswa itu. Apa yang membuat mereka tertarik denganku? Karena aku pintar? Tidak, aku biasa-biasa saja. Karena aku berbakat? Tidak ada yang tahu apa bakatku. Karena aku seorang anak yatim-piatu yang dibuang orangtuanya di panti asuhan? Setelah kupikir-pikir akubukanlah satu-satunya orang yang bernasib seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Resist
RandomPerren terbangun dari sebuah insiden yang seharusnya menewaskannya. Atau apakah dia memang sudah mati? Karena apa yang dia lihat sekarang sangatlah tidak nyata.