BRUKKK! SUARA HENTAKAN ITU LANGSUNG membangunkanku. Mataku yang masih terasa berat ku-paksa untuk menantang sinar mentari yang menerobos masuk. Siapa yang berani membuka tirai jendelaku pagi-pagi begini?! gerutuku dalam hati. Kulihat Abigail meringis kesakitan sambil memegangi bahunya di depan pintu kamarku. Aku langsung beranjak dari tempat tidurku, setengah berlari menghampirinya.
“Apa yang terjadi?” aku mengernyitkan hidungku. Tubuhnya beraroma alkohol sangat tajam. Apa dia mabuk pagi-pagi begini?
“Sejak kapan pintu itu ada disini? Pintu itu menabrakku.” keluhnya sambil memijat-mijat bahunya. Suaranya parau. Dia terlihat sangat berantakan. Aku semakin yakin kalau dia sedang di bawah pengaruh alkohol.
“Wow, tumben kau mabuk seperti ini. Sebaiknya kita bersihkan dulu tubuhmu baru kau bisa istirahat.” aku berusaha menuntunnya ke kamar mandi, namun dia malah berontak dan di menjatuhkan dirinya ke lantai.
“Gendong aku sayang.” pintanya manja.
Aku memutar bola mataku. Dia merentangkan kedua tangannya seakan ingin memelukku. Dia lantas mengalungkan tangannya di leherku. Aku mengangakat-nya dalam hitungan ketiga. Tubuhnya lumayan berat, ditambah lagi bau khas orang telernya sangat menyengat membuatku mabuk bukan kepayang.
“Lubang hidung terlihat sangat besar dari bawah sini.” ejek Abigail.
“Oh ya?” tanyaku.
“Hmm. Sangat besar.” gumamnya. Aku hanya bisa menanggapinya dengan senyum miringku. Lagipula dia sedang mabuk.
Aku menggendongnya ke kamar mandi kamarku. Sebenarnya aku tidak tega, tapi mau bagaimana lagi. “Ayo turun. Kau harus mandi.” suruhku, tapi tidak ada jawaban darinya. “Ayo turun sebelum aku menjatuhkanmu ke dalam bak mandi!” ancamku sambil menyalakan keran air dengan sebelah tangan. Lagi-lagi tidak ada jawaban darinya. Kupalingkan wajahnya yang daritadi terbenam di tubuhku. Pantas saja, ternyata dia tertidur! Rasanya tidak sampai semenit dia berbicara kepadaku tadi.
Jadi aku menggendongnya kembali ke tempat tidurnya. Membaringkannya secara perlahan dan memakaikan selimutnya hanya sampai sebatas lutut walaupun hawanya agak panas baginya. Kurapikan rambut pirangnya yang menutupi wajahnya. Dia sangat cantik bahkan saat tertidur dalam keadaan mabuk. Kukecup lembut keningnya dengan sepenuh hati. Sejujurnya aku hampir setiap hari mengecup keningnya saat dia tertidur, tapi dia tidak pernah mengetahuinya.
Aku melangkahkan kakiku menuju ruang tamu, menuruni tangga yang menuju basement kesayanganku. Kupandangi seisi ruangan. Betapa aku dibuat rindu akan orangtuaku. Aku bahkan tak sempat menyampaikan salam perpisahan saat ayahku bertolak ke Dubai atau mencium pipi ibuku sebelum pergi ke kantor dengan baju perwira kebesarannya. Ini semua gara-gara orang bodoh itu! orang bodoh yang terlalu bodoh itu berani-beraninya menggabungkan kenyataan dengan alam bawah sadarnya sendiri! Jika saja bukan karna teman-temanku aku pasti sudah menjelajahi dunia dengan mobil penuh senjata guna membunuh orang bejat itu! mereka sangat membantuku untuk mengatasi emosiku. Selalu ada hikmah dibalik suatu cobaan bukan?
Aku mengikat rambutku yang dari tadi ku biarkan tegerai, kunaikkan lengan bajuku. Aku melakukan pemanasan-pemanasan ringan selama beberapa menit. Aku berlari-lari kecil mengitari arena berlatihku. Sampai kurasa cukup, aku merenggangkan otot-ototku dan berjalan menuju panel senjata nomer tiga, panel senjata milikku. Aku menimbang-nimbang senjata apa yang akan kuajak ‘bermain’. Pilihanku jatuh pada pedang dan tentu saja pisau-pisau lucuku. Entah sudah berapa lama aku tidak berlatih menggunakan pedang ini sehingga terasa asing di tanganku, tidak seperti pisau-pisau ini yang selalu kumainkan tiap hari.
Aku memasang sarung tangan dan sepatu khusus yang yang nantinya menyambung ke syarafku sehingga apa yang terjadi saat aku berlatih nanti terasa nyata bagiku. Tidak menutup kemungkinan jika aku tertusuk di jantung sampai mati aku bisa merasakan sakitnya juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Resist
RandomPerren terbangun dari sebuah insiden yang seharusnya menewaskannya. Atau apakah dia memang sudah mati? Karena apa yang dia lihat sekarang sangatlah tidak nyata.