5

544 23 0
                                    

Here's a little note for y'all. Jdi setiap 4 chapter akan ganti pov. Perren to Reyna. Kinda weird...

JANGAN MARAH. Kumohon jangan marah.

Dia duduk di tepian tempat tidur. Seperti frustasi. Tangannya saling bertautan satu sama lain di belakang lehernya. Rambut lurusnya yang pirang bersinar redup di kamar gelap ini. Mungkin hanya khayalanku saja. Sejak kapan rambut bisa bersinar dalam kegelapan.

Aku mendekatinya dengan perlahan. Sangat perlahan. Aku bisa merasakan kakiku bergetar tiap kali aku mengangkatnya untuk melangkah. Walaupun aku tahu dia tidak mengigit, tetap saja aku harus berhati-hati karna dia bisa melukaiku secara mental jika aku salah langkah.

“Apa yang kau lakukan disitu?” katanya.

Aku berhenti melangkah. Aku tau ini berlebihan tapi sungguh, aku merasa seperti jantungku berhenti berdetak “A—aku, entahlah. Apa kau marah denganku?” pertanyaan bodoh itu tiba-tiba terlontar dari mulutku yang sama bodohnya.

“Entahlah. Hari ini terasa sangat berat untukku. Duduklah di sini, bersamaku.” ajak Abby.

“Well, baiklah.” Aku mencoba melemaskan otot-ototku yang menegang. Irama jantungku cepat dan tidak beraturan. Aku benci saat-saat seperti ini. Saat-saat Abby mengajakku ngobrol serius seperti membicarakan masalah ayah dan anak. Terakhir kali kami berbincang seperti ini adalah ketika aku keasyikan begadang main GTA 5 tiga hari yang lalu.

“Aku benar-benar minta maaf soal tadi. Aku sudah sangat kelewatan sehingga membiarkan Perren berbicara seperti itu kepadaku tadi. Aku sangat menyesal.” aku menekukkan kepalaku dalam-dalam.

“Apa yang kau bicarakan?” tanya Abigail. “aku tidak menganggap serius hal tadi. Aku hanya… aku memiliki hal lain yang sedang kupikirkan waktu itu. Kau tidak perlu meminta maaf kepadaku.”

Dan seketika juga aku merasa menjadi manusia paling bahagia di muka bumi ini. “Benarkah? Oh, syukurlah! Kukira tadi kau sangat marah padaku.” aku mengusap hidungku yang mulai meler.

“Jika aku bertanya, maukah kau menjawabnya dengan jujur?”

“Tergantung.”

“Aku serius Reyna. Ini harus. Aku bertanya dan kau menjawabnya dengan jujur.” Abigail menegaskan kata-katanya.

“Bagaimana dengan ‘membelokkan kebenaran’?”

“Siapa aku untukmu?” tanyanya langsung.

“Pertanyaan mudah. Untukku kau adalah Abigail. Abigail Cooper.”

Abigail menghela nafas dalam-dalam “Itu bukanlah jawaban.”

“Itu jelas-jelas adalah sebuah jawaban. Bagiku kau adalah Abigail. Kau adalah kau. Dirimu sendiri. Aku sangat mengapresiasikan dirimu yang selalu menjadi diri sendiri. Tidak seperti aku yang tidak pernah menerima siapa aku sebenarnya. Yang selalu ingin menjadi Lady Gaga atau Katy Pery di keesokan harinya.” Sekarang aku merasa seperti motivator handal.

“Kau hanya bisa mengucapkannya! Kau tidak pernah melakukannya! Aku hanya ingin kau menjawab pertanyaanku tadi sebagai dirimu sendiri, bukan sebagai motivator picisan.”

“Kau benar. Aku tidak berbakat menjadi motivator. Mungkin aku bisa mencoba—”

“Kumohon jangan mengubah topik,” katanya singkat.

Sepertinya aku tau pembicaraan ini mengarah kemana. Sebuah rahasia hidup yang selalu kukunci di dalam diriku sampai aku mati nanti. Sebuah kutukan sekaligus karunia. Sebuah hal yang ingin kubuang jauh-jauh, namun ingin kukejar. Abigail sepertinya me-ngetahuinya dan memintaku mengaku saat ini juga. Ini bisa jadi pencapaian terbesar dalam hidupku atau malah yang terburuk. Tapi aku harus melakukannya. Ini kesempatanku.

ResistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang