AKU MERASA SEDANG TERJADI PERANG dingin antara Abigail dan Perren. Sejak sejam tadi mereka terus memandangi satu sama lain dengan tatapan tak bersahabat. Aku mencoba memecahkan keheningan dengan beberapa pertanyaan basa-basi tapi mereka hanya menjawabnya dengan “Ya” atau “Tidak”. Sikap Abigail sudah berubah sejak aku datang setelah mengisi bahan bakar Susan dengan avtur yang menurutku tidakan bodoh. Maksudku, sejak kapan kendaraan dengan baling-baling yang berputar cepat ini mengonsumsi avtur? Sejak kapan avtur menggantikan posisi bensin? Semua ini membuatku makin frustasi saja.
Perjalanan dari Yunani ke Mesir memerlukan waktu sekitar lima jam. Dengan zona waktu yang sama berarti kami akan tiba di Mesir sekitar pukul satu siang. Tujuan pendaratan kami adalah di Gaza—Giza, aku tidak tau yang mana yang benar. Profesor Ludwig bilang kalau kita ingin mengunjungi pyramid sebaiknya pyramid Kufu di Giza saja. Bisa dibilang pyramid Kufu adalah Daddy Pyramid, karena pyramid itulah yang paling besar diantara pyramid lainnya.
Dikarenakan tidak ada aktifitas lain selain mendengarkan deru mesin dan menatapi ujung sepatuku sendiri aku menyandarkan kepalaku pada pundak Abigail. Aku tidak merasakan dia bergerak sedikit pun. Sesekali Perren melirik ke arahku lalu kembali bertatapan dengan Abigail. Apakah mereka kencan dengan kontak mata atau semacamnya?
“Aku sangat lelah.” bahu Abigail mengangkat kepalaku yang bersandar di situ.
Dia melepaskan sabuk pengamannya dan menggunakan pahaku sebagai bantal. Kakinya yang jenjang berselonjor di sepanjang bangku penumpang.
“Tidurlah. Semalam kau tidur sangat larut.” Aku mengusap rambut pirangnya selembut yang ku bisa.
“Darimana kau tau aku tidur larut?”
“Karena aku sempat terbangun. Aku melihatmu terbangun juga. Aku ingin berbicara padamu tapi aku terlalu mengantuk jadi aku tertidur lagi.” kebohongan nomor sekianku kepada Abigail.
Malam itu tidak ada yang berbeda. Aku tidur dengan memeluk Abigai dari belakang. Aku tertidur. Isakan itu membangunkanku. Tubuh Abigail bergetar di pelukanku. Awalnya kukira dia kedinginan atau demam, ternyata lebih buruk lagi. Aku melihat pantulan cahaya lampu tidur di pipinya. Cairan itu mengalir menyusuri hidung mancungnya. Isakan itu berasal dari Abigail. Dia menangis. Aku ingin menenangkannya, menghapus air matanya. Tapi aku tidak bisa karena sesuatu yang konyol. Aku tidak bisa mengenali suatu kejadian berada dalam mimpi atau nyata, setelah aku terbangun secara total baru aku bisa membedakan mana yang mimpi dan mana yang kenyataan. Pikiranku terbawa kembali ke alam mimpi. Seharusnya aku tidak membiarkannya tidur dalam keadaan menangis. Seharusnya aku tidak memperboleh-kan kesedihan mengusiknya!
“Apa kau terbangun karena aku?”
“Oh, tidak. Aku terbangun gara-gara aku bermimpi bahwa aku mengompol di celana.” tambah satu kebohongan lagi. Tapi aku memang sering terbangun karena mimpi ngompol di celana.
“Hey Pak Tua! Berapa lama lagi kita akan sampai?” suaraku tenggelam dalam suara bising mesin.”
“Paling lambat satu setengah jam lagi.” Jawab Profesor melalui pengeras suara.
Percaya tidak percaya Abigail sudah tertidur pulas di pangkuanku. Aku mecoba memanfaatkan waktu satu setengah jamku dengan memandanginya puas-puas.
Kenapa kau mau menciumku?
Aku tak tau.
Kau hanya melakukannya begitu saja? Di luar kesadaran dan kehendakmu?
Tidak, bukan begitu. Aku, sejak dulu aku sangat ingin memiliki seorang kakak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Resist
RandomPerren terbangun dari sebuah insiden yang seharusnya menewaskannya. Atau apakah dia memang sudah mati? Karena apa yang dia lihat sekarang sangatlah tidak nyata.