15

204 7 0
                                    


INI BARU NAMANYA HIDUP. Angin sepoi-sepoi, hangatnya mentari, turis seksi dimana-mana.

“Bagaimana kalau kita berenang?” ajakku yang di respon dengan muka masam oleh mereka.

“Ingatlah apa tujuan kita kesini.” Tegur Eames.

“Tujuanku kesini memang untuk berenang di pantai ini. Lagipula aku punya firasat buruk bahwa kita akan adu jotos dengan patung Yesus setinggi tiga puluh meter itu.” aku mengarahkan pandanganku ke patung Yesus di sebelah utara kami kalau-kalau patung itu tiba-tiba bergerak dan mengeluarkan laser dari kedua matanya.

“Itu hanya satu dari sekian banyak fantasi anehmu.”

“Salahkah aku terlalu bersikap posesif dengan patung itu?” aku membela diriku seperti biasanya. “Kita juga baru sampai. Tidakkah kalian penat duduk di helikopter seharian?”

Setelah melalui perdebatan panjang akhirnya aku terpaksa mengalah. Trio Pria bersikeras untuk langsung menuju ke lokasi patung Yesus itu, sedangkan Abigail lebih memilih untuk diam dan memperhatikan kami beradu agrumen. Lagi-lagi kalah telak.

Kami menggunakan jasa taksi umum mencapai tujuan kami. jujur aku sangat membenci taksi. Aku tidak tahu kenapa, mungkin terjadi secara alamiah karena aku adalah anak golongan kelas atas (hanya bercanda). Kami bedesak-desakan di dalam taksi. Dengan sedikit usaha aku berhasil meposisikan dudukku lumayan nyaman. Taksi di sini berbeda dengan yang di Amerika. Taksi ini sedikit lebih besar dan tinggi. Sepanjang perjalanan Abigail terus saja diam. Dia hanya memandangi lampu jalanan sambil menempelkan kepalanya di kaca mobil. Aku tidak suka melihatnya seperti ini tapi raut wajahnya seakan mengatakan Jangan ganggu! Aku lagi meditasi nih!

Setelah sekitar dua puluh menit bersesak-sesakkan dalam mobil akhirnya kami sampai juga. Aku buru-buru keluar dan langsung merogoh sakuku untuk membayar supirnya dengan uang Euro.

“Apa yang salah? Kalian tidak menggunakan Euro?”

“Se você nāo tiver o dinheiro nāo tem que pagar qualquer!” oceh supir taksi itu.

“Aye! Neymar dos Santos, Pele, Ronaldinho! Futbalo! Brazil!”  seruku lengkap dengan logat yang aneh tanpa memperdulikan artinya.

“Kurasa Brazil tidak menggunakan Euro.” Perren mengerdikkan bahunya.

“Kalau begitu berikan rokokmu, Eames. Kita harus tetap membayarnya.” Abigail akhirnya angkat bicara juga setelah seharian bungkam.

Eames mengeluarkan kotak rokok yang masih baru dari sakunya dan memberikannya kepada supir taksi itu. Dia terlihat tidak masalah dengan pemberian dari Eames. Supir itu menstarter mobilnya dan meninggalkan kami.

Patung Yesus Sang Penebus berada di hadapan kami. Kedua tangan raksasanya merentang dan menghadap ke arah kota. Dengan tinggi yang mencapai 38 meter, patung ini membuat Dewa-Dewi Olympia di Athena tidak ada apa-apanya. Di tengah kekacauan dunia yang hanya diketahui oleh kami, kepopuleran salah satu dari tujuh keajaiban dunia ini tidak bisa dibantah. Pelancong dari dalam maupun luar negri terlihat ramai berwisata ke sini. Bahkan ada saja yang berselfie ria.

“Sekarang apa?” aku memecahkan keheningan.

“Kita tunggu saja.” sahut Abigail.

“Huh, ‘kan sudah ku bilang seharusnya kita berenang dulu di pantai.” gerutuku. “sebagai permintaan maaf kalian harus mentraktir aku itu!” aku menunjuk sebuah gerobak kaki lima berisi makanan yang kelihatannya enak. Kepala mereka mengikuti arah tanganku menunjuk.

“Ah, kalau begitu sih dengan senang hati.” sahut Eames bersemangat.

“Aku juga mulai lapar.” Perren menimpali.

ResistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang