APA AKU TERLIHAT SEPERTI ELVIS?” tanyaKU. Rupanya selera pakaian ayah Reyna kelewat jadulnya.
“Ya. Elvis Preasley versi kulit putih dan tanpa bulu dada.” kata Reyna sambil megigiti kuku jari telunjuk kanannya. “Mau apalagi, ayahku selalu menggunakan jas dan kemeja yang disediakan oleh tempat dia bekerja. Terakhir dia pergi ke Dubai dan membawa semua bajunya untuk menjalani misi.”
“Aku akan diolok habis-habisan jika makan malam dengan baju ini.” gerutu Perren.
“Yap. Seperti yang sudah kurencanakan.” sahut Reyna sambil mengangkat bahunya.
“Keren. Aku akan memakai bajuku kotor saja.” Aku membuka kancing kemeja Elvis-ku. Aku mengambil pakaianku yang sudah kulempar ke cucian.
“Baiklah Tuan Tanpa Dosa, izinkan hamba yang hina ini meninggalkan ruangan ini untuk makan malam karena bau spagetti ini sangat nikmat.” kata Reyna sambil menundukan badannya seperti sedang hormat dan berjalan mundur ke ambang pintu lalu berbalik dan berlari keluar kamar sambil berteriak “Eames! Berikan spagetti itu padaku!”
Aku berjalan ke ambang pintu. Mengamati Reyna yang histeris semi kelaparan karena aroma spagetti Eames. Aku tersenyum melihat tingkah laku Reyna. Bagaimana bisa wanita perkasa kekanak-kanakan yang baru kutemuinya pagi tadi bisa membuatku begitu merasa...tertarik? Tidak.
Aku begitu populer. Banyak cewek yang naksir padaku dan berusaha mendekatiku. Klub persaudaraan berlomba-lomba untuk mengajakku bergabung, namun semuanya kutolak mentah-mentah. Aku memiliki banyak teman, tapi menurutku mereka bukanlah teman sesungguhnya. Mereka hanya berteman denganku agar tertular kepopuleranku. Aku merasa kehidupan yang kujalani ini hanya settingan. Seperti ada orang yang mengamati tingkah laku dan sekitarnya, lalu mengubah hal yang yang tidak sesuai dengan skenario agar alur cerita menjadi lebih menarik. Tidak ada yang mengajarkan cinta dan kasih sayang kepadaku.
Semua orang sudah berkumpul di meja makan. Aku memnduduki kursi kosong di antara Eames dan Profesor Ludwig. Sebenarnya aku ingin duduk ber-sampingan dengan Reyna karena aku belum terlalu akrab dengan yang lain, tapi Abby sudah lebih dulu duduk disampingnya.
“Spagetti ini sangat enak Eames.” puji Profesor
“Berikan tepuk tangan untuk resep nenek Eames!” kata Reyna dengan mulut penuh spagetti.
Eames berusaha menahan senyumnya dan pura-pura tidak peduli dengan pujian yang ditunjukan kepadanya. “Jangan banyak komentar. Makan saja punyamu.”
Aku menyantap spagettinya. Pada suapan per-tama, spaghetti ini memang enak luar biasa! Aku tidak pernah makan makanan yang lebih enak dari ini. “Demi Chuck Norris! Ini enak sekali, Bung!” kataku bersemangat.
Kami makan malam sambil bertukar cerita. Layaknya seperti sebuah keluarga kecil. Si Ayah menanyai bagaimana hari anaknya satu-persatu. Mulai dari Eames yang bercerita tentang masa lalunya yang kelam. Ternyata dulunya adalah seorang gangster dan pemerkosa namun dia akhirnya insyaf karena suatu kejadian, Profesor Ludwig adalah lulusan Harvard dan sekarang dia bekerja sebagai dosen. Saat semua orang sedang fokus menyimak cerita, Reyna diam-diam mencuri spaghetti dari piring Abby. Saat giliranku, aku bercerita tentang masa kecilku. Siluet seorang pria yang menggendongku, pertengkaran itu, hari-harinya di panti. Tapi aku tidak menceritakan sedikit pun tentang kecelakaan itu.
“Ah… sering-seringlah kau masak spaghetti ini Eames.” Kata Abby sambil menguap dan merenggangkan kedua tangannya.
“Terserah sajalah.” jawab Eames sambil mengusap sekitar mulutnya dengan tisu. Dia masih bersikap pura-pura tidak peduli dengan segala pujian yang diberikan teman-temannya.
“Oh ya Perren, kau tidak keberatan ‘kan tidur sekamar dengan Eames dan Profesor Ludwig?” Tanya Reyna.
“Hah? Kukira aku akan sekamar denganmu.” Jawabku. Sebenarnya aku tidak bersungguh-sungguh dengan perkataanku, tapi mendengarnya Abby langsung menggaruk tengkuknya dan mengalihkan pandangannya ke langit-langit dengan canggung. Abby pura-pura terbatuk sambil mengatakan “Bajingan.” yang hampir masih bisa terdengar olehku.
“Sepertinya aku akan langsung ke kamar saja,” kata Abby. “jangan bangunkan aku bila aku tertidur ya, Reyna.” Ujar Abby sambil berlalu dan berjalan ke kamarnya. Reyna merasa sangat bersalah. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
“Jangan lagi.” Gumam Reyna
“Maafkan aku. Aku sangat keterlaluan.” aku menunduk, menatap piring spaghettiku dan memain-mainkan spaghettinya di piring. Seketika spaghetti itu terasa hambar dimulutku.
“Tidak apa-apa, dia memang begitu.” Kata Reyna menenangkan “kalau begitu aku akan menyusul Abby ke kamar.” senyum Reyna yang tadinya licik dan bersemangat sekarang telah hilang. Entah bagaimana Abby bisa membuatnya menjadi seperti itu. Dia berjalan menunduk, seakan dia telah menghilangkan boneka kesayangannya.
“Wanita memang begitu, nak. Itu sebabnya aku masih perjaka sampai sekarang.” Kata Profesor Ludwig sambil menepuk-nepuk bahuku. “Sepertinya kita juga harus tidur. Spaghetti Eames membuatku sangat mengantuk.”
“Berhentilah mengaitkan suatu hal dengan spaghettiku. Ini sudah malam! Wajar saja jika kau mengantuk.” Gerutu Eames.
“Yasudahlah, aku mengantuk karna hari sudah malam. Sekarang ayo kita ke kamar dan tidur dengan lelap.oke?”
“Aku berharap aku bisa tidur nyenyak malam ini.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Resist
RandomPerren terbangun dari sebuah insiden yang seharusnya menewaskannya. Atau apakah dia memang sudah mati? Karena apa yang dia lihat sekarang sangatlah tidak nyata.