12. Physically Hurt

46.9K 2.5K 29
                                    

SARA masuk ke dalam kamarnya lalu bersandar di dinding pintu marmer itu dan menghela nafas. Tidak banyak yang berubah. Tidak juga dengan perasaannya. Entahlah. Semuanya terjadi begitu cepat dan membingungkan. Entah apa juga yang membuatnya membawa Gibran kesini.

Dalam segala khayalannya, tiba-tiba smartphone-nya berdering.

"SARA! Oh My God, lo serius mau nikah sama Pak Gibran?", cecar Wella diseberang sana.

"Gak tau lah, Wel. Eh, wait, LO TAU DARIMANA?!",

"Satu kampus juga udah tau kale, Sar. Lo lagi dimana sih, sekarang?",

"Gue.. pulang ke Milan, Wel. Udah saatnya kayaknya gue harus berdamai dengan kenyataan, kan?", ucapnya dengan getir.

"Good. Kabarin gue terus, ya! That's my girl. Totally missing you, babe.",

"Miss you too. See you soon!",

Sara tersenyum kemudian menutup sambungan telepon itu. Dia merasa sangat beruntung memiliki sahabat seperti Wella. Tanpa membuang waktu dia memutuskan untuk berberes sedikit dan mengganti bajunya dengan baju yang lebih nyaman. Tiba-tiba dia teringat akan sesuatu.

Surat.

Martin.

Seketika dia terburu-buru mencari benda itu. Entah apapun isinya, kenapa dia sangat penasaran.

Dear Talitha,

Mungkin kau membacanya entah setelah sekian lama aku menulis ini. Dan entah kapan surat ini akan sampai ke tanganmu. Aku hanya akan menyampaikan beberapa hal terkait kita,

Kita.
Bahkan kata 'kita' yang dulu mampu membuatnya tersenyum, sekarang justru mampu membuat air matanya menetes. Kita? Apakah sekarang kita masih menjadi 'kita' yang dulu?

Aku tahu, ini sangat sulit bagimu. Begitupun denganku. Aku tidak tahu seharusnya harus mengatakan apalagi. Aku malu, sangat. Pada diriku sendiri, dan pada dirimu. Pada hubungan kita. Seharusnya kita memang tidak memulai ini. Seharusnya.

Ya, seharusnya kita tidak memiliki perasaan bagi satu sama lain. Seharusnya.

Aku bahkan baru pernah bertemu dengan Candice saat itu. Aku tidak pernah berfikir bahwa kedua orangtuaku telah merencanakan ini. Sungguh. Jika saja kedua orangtuaku tidak melakukan ini atas nama kepentingan negara dan nama baik keluarga, serta keinginan ibuku untuk melihatku menikah sebelum pernyakit itu mengakhiri hidupnya, aku takkan mau.

Aku selalu berharap bahwa suatu saat nanti kita bisa memimpin kerajaan ini bersama. Dan memiliki beberapa anak yang cantik sepertimu. Kau tahu, aku tidak mungkin menikahimu saat itu. Kau bahkan terlalu muda. Dan ini juga bukan keinginanku, kamu jelas tahu itu. Aku berharap jika suatu saat nanti perasaanmu belum berubah untukku. Nampaknya aku sangat berharap, ya? Mungkin kau akan melupakan lelaki brengsek sepertiku, mungkin. Aku mendoakan segalanya yang terbaik bagimu.

Martin.

Demi Tuhan. Sara tidak pernah menyangka bahwa Martin menanggung beban itu untuk hubungan mereka. Sara memutuskan untuk menghubungi Martin. Sara berjalan keluar kemudian menuju telepon di ruang tengah.

"Halo, kediaman Maximillianzo. Tolong disambungkan dengan ruangan Maison Martin. Ini Talitha.", ucapnya kepada salah satu pelayan keluarga Elaxenderé. Tak lama kemudian suara diseberang pun menjawab,

"Talitha?",

Tunggu, ini suara perempuan!
Tapi... siapa?

Ah, Candice!

"Candice? Um, sorry, Princess.",

"Ya, ini Candice. Tak perlu sungkan Talitha. Martin sedang ada di ruang kerja, ada yang bisa kubantu?", tanya gadis itu dengan aksen Perancis yang kental.

Miss BombshellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang