Part 1

91.4K 2.7K 19
                                    

Sundea

Namaku Sundea. Lengkapnya Sundea Anastasya Tobing. Kata orang hidupku sempurna. Sesempurna namaku. Anastaya yang berarti bangkit dan Sundea yang berasal dari kata Sunday atau hari minggu. Perpaduan namaku jelas bahwa orangtuaku begitu berharap bahwa Putri nya bisa menjadi gadis tangguh. Dan Sundea, itu karena kedua orangtuaku sewaktu dulu, bertemu tanpa sengaja di sebuah gereja saat ibadah di hari minggu.

Memiliki garis wajah seperti layaknya keturunan suku batak dan dayak. Kau tahu kan, suku dayak terkenal dengan paras wajahnya yang tentu saja mempesona. Itu aku wariskan dari Ibuku. Tatapan matanya yang meneduhkan juga kulit putihnya itu juga ku wariskan dari Ibuku. Sedangkan ayahku, seorang berdarah batak yang mempunyai alis tebal dan sepasang lesung pipi, dan itu di wariskan kepadaku. Alisku cukup tebal namun tertata rapi. Dan bisa ku pastikan aku lahir ditengah keluarga yang harmonis. Aku cukup bersyukur untuk itu, sekalipun terlahir sebagai anak tunggal, aku tidak pernah kekurangan kasih sayang.

Ayah dan Ibu ku bisa menempatkan diri mereka sebagai sahabat terbaik untukku berbagi cerita. Tidak ada hal yang cukup rahasia yang tidak ku bagi pada mereka. Bahkan, sekalipun itu sebuah aib.Iya, aib! Aku pernah berpikir, kelak aku ingin menjadi seperti mereka. Kapan-kapan akan ku ceritakan pada kalian kenapa aku begitu ingin menjadi seperti mereka. Menjadi orangtua yang baik bagi anak-anakku kelak. Ah, anak-anak...

Hingga saat aku memutuskan untuk menerima lamaran seorang pria bernama Kevin, dengan bahagia aku mengatakannya pada kedua orang tua ku. Dan mereka pun sama bahagianya denganku. Semua orang tahu, Kevin pria terbaik yang memang seharusnya menikahiku.

Ya, Kevin memang pria terbaik. Namun, tidak seharusnya. Tapi aku tidak punya pilihan lain, bukan? Suatu hari sebelum pernikahan kami, aku pernah bertanya padanya.

"Kenapa kau memilih untuk menikahiku?" saat itu suasana teras rumah sedang sepi, aku memastikan tidak ada siapapun yang mendengarnya.

"Karena aku ingin yang terbaik bagimu.." ia berkata dengan tulusnya, aku tahu.

"Tapi mungkin hidupmu akan sulit ketika memutuskan menikahiku.." aku mencoba memikirkan segala kemungkinan itu kedepannya. Sejujurnya, aku tidak ingin berbagi apapun padanya saat itu. Aku merasa bersalah menimpakan sesuatu yang tidak seharusnya kepada orang sebaik Kevin.

"Aku tidak menyesalinya, Sundea. Percayalah."

"Tapi kenapa?" sekali ini aku benar tak mengerti akan keyakinannya.

"Karena aku mencintaimu. Dan aku tidak ingin kau meragu."

Lalu, sejurus kemudian, kalimat itu berhasil membuat kami membatu. Diam tanpa suara. Malam itu, aku belum menyadari apapun tentang cinta. Tapi, di hari-hari selanjutnya, aku akhirnya yakin bahwa dia memang mencintaiku.

Sampai usia pernikahan kami yang ke empat, aku bisa melihat dengan jelas betapa Kevin sangat mencintai Lintang, putri kecil kami. Malaikat kecilku begitu membanggakan Daddy nya di sekolah, dihadapan teman-temannya. Kalau bukan karena Kevin sudah sangat berjasa padanya, tidak mungkin Lintang tidak memujanya, kan?

Aku pernah mendengar Lintang bercakap-cakap dengan teman play group nya saat aku hendak menjemputnya di sekolah. Sepertinya ia tidak menyadari kehadiranku, tapi situasi itu menguntungkanku karena itu artinya aku bisa mendengar segala ceritanya pada teman-temannya.

"Daddyku orang yang baik, setiap malam ia akan membacakanku dongeng.. kalau Daddy sedang tugas ke luar negri, daddy pasti selalu membawaku cokelat.." ia bercerita dengan riang nya.

Itu memang benar, Kevin selalu menghadiahinya banyak sekali cokelat. Aku pernah memarahinya karena selalu memberikan cokelat pada putri kecilku itu.

"Gigi nya kan bisa rusak. Kevin..kau tidak harus memberinya cokelat."

Lalu, seperti biasa.. ketika aku protes maka sudah ada seseorang yang menyerbuku tak kalah cerewetnya denganku. Dia putri kecil ku. Aku sering bertanya-tanya darimana datangnya bakat cerewetnya? Ah tentu saja dariku, aku hampir saja lupa.

"Mommy boleh ya sekali saja?" diakhir cerewetnya, Putri Kecilku akhirnya memohon. Pada akhirnya ia memang akan selalu ijin padaku untuk melakukan hal yang tidak ku suka itu. Dengan diakhiri kalimat 'sekali saja', dia berusaha membujukku. Dan seperti yang sudah ku ketahui sebelum-sebelumnya.. bahwa tidak ada kalimat sekali saja dalam kamus hidupnya, jika itu berhubungan dengan cokelat.

Dengan berat hati aku mengangguk setuju. Nah, tidak tega juga membiarkan Lintang meredam nafsu makannya pada cokelat. Kevin tahu betul itu. Dan, ia memang ayah yang baik.

Untuk tugas luar negri nya kemanapun itu, ia selalu ingat akan Lintang. Juga aku. Sekali tiga bulan ia akan meeting di luar negri untuk menghadiri rapat direksi. Kalau tidak Singapore, Inggris dan Australia. Kesitulah ia biasa akan meeting dan menghabiskan waktu selama hampir sebulan. Perusahaannya adalah perusahaan yang bergerak di bidang ekport bahan mentah karet. Kalau ia pergi, hanya sesekali aku merindukannya sebagai suami. Tapi, aku selalu merindukannya sebagai ayah dari Lintang. Begitupun Lintang.

"Daddy mau pergi kemana lagi?" tanya Lintang sepanjang perjalanan menuju bandara. Sore itu, aku dan Lintang akan mengantarnya ke bandara. Aku menolak memakai jasa sopir dengan alasan sehabis mengantarnya ke bandara, aku hendak mengunjungi Lisa, sahabatku. Ia tahu betul, kalau aku bersama Lisa pastilah akan menghabiskan banyak waktu. Sopirku tidak akan betah menunggu, karena ia pasti akan sibuk melirik jam nya untuk pulang. Ia bukan sopir yang tinggal di rumah kami, ia selalu kembali ke rumahnya jam delapan malam. Dan aku tidak ingin mengganggunya. Syukurnya, Kevin menyanggupi permintaanku sore itu. Biasanya ia tidak akan mengijinkanku, apalagi perjalanan dari bandara ke mall kelapa gading, tempatku dan Lisa biasa bertemu. Itu cukup jauh.

"Ke Australia, Lintang mau cokelat?" tanyanya lembut. Padahal ia sadar betul, aku sedang melirik tajam ke arahnya.

"Mau dad! Mau!" Lintang memekik kesenangan di bangku belakang, ia melompat-lompat didalam mobil. Aku mendesah kecewa. Bagaimana tidak, beberapa hari lalu, Lintang baru saja mengeluh kesakitan karena gigi nya berlubang dan akhirnya harus dicabut.

Menyadari kekecewaan yang tersirat dari wajahku, Kevin terkekeh pelan. Lalu ia membelai punggung tanganku. Membiarkan tangan satunya memegang kemudi pada setir mobil.

"Sudahlah, sekali saja... ya?"

"Benar sekali saja?"

"Iya. Sekali saja, Sayang. Sudah jangan merengut begitu.. aku kan sudah mau berangkat. Jangan iringi kepergianku dengan ngambek begitu.."

Aku mengangguk. Iya, mengangguk. Gerakan yang seharusnya tidak ku lakukan. Saat itu, aku mengangguk untuk kalimat 'sekali saja' yang ia ucapkan. Aku tahu benar, kalau ia berjanji pasti ditepati. Berbeda dengan Lintang, yang kalimat 'sekali saja' nya itu tidak pernah habis. Dan benar... itu memang sekali saja.

Pada saat meeting nya di Australia sudah usai, pesawat yang ia tumpangi untuk kembali ke Indonesia, mengalami turbulensi. Beberapa jam setelah itu, pihak penerbangan mengabariku.. bahwa pesawat yang ditumpangi suami ku telah mengalami kecelakaan. Pesawatnya jatuh menabrak tebing dan semua penumpangnya tidak ada yang selamat.

Aku sering menonton perkembangan pencarian bangkai pesawat di berita-berita televisi. Berharap ada setitik keajaiban. Tapi, semua sia-sia. Kevin memang meninggal. Running text pada berita malam itu jelas menerbitkan nama 'Kevin Airlangga' sebagai korban ke lima yang ditemukan tak bernyawa.

Aku melemas seketika. Malam itu aku membutuhkannya tidak hanya sebagai ayah bagi Lintang tapi juga suami untuk menenangkanku. Betul katanya, sekali ini saja. Tapi bahkan, cokelat itu tidak pernah sampai ke tangan putri kecilku. Sekarang, bagaimana aku mengatakannya pada Lintang? Dan mendadak, pandanganku pun menghitam.

Tbc

Tadaaaaaa... ini novel keduaku..
Gimana? Gimana? Ditunggu vomentnya yaaaa..

Be my perfect hubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang