Part 31

30.7K 1.6K 14
                                    

Keenan

Aku mengantarkan putri kecilku ke ruang kelasnya. Kami baru saja turun dari mobil, ia menggenggam tanganku dengan eratnya. Sebenarnya, aku sangat ingin menggendongnya. Tapi ia menolak. Katanya ia malu pada teman-temannya. Ah benar juga, ia kan bukan anak bayi lagi. Sesampainya di depan ruangan kelasnya, aku menyejajarkan diriku dengan Lintang, berlutut.

"Apa Dad akan lembur lagi?" Bukannya ucapan perpisahan, tapi Lintang malah menanyaiku.

"Tidak. Memangnya kenapa, Sayang?"

Senyum terkembang muncul di wajah Lintang, "Kalau begitu.. ada dongeng nanti malam, kan, Dad?"

Jadi ini masalahnya, "Ya. Dad akan menceritakannya untukmu." Aku berkata dengan penuh kepastian.

Lintang melonjak girang, ia meraih leherku dan memeluknya, "Aku merindukan Dad bercerita."

Aku mengusap lembut puncak kepalanya, "Kan ada Mom yang bisa juga menceritakan padamu, Sayang." Aku ingat, semalam Anastasya mengatakan padaku bahwa ia lah yang membacakan dongeng itu untuk Lintang.

Aku merasakan gelengen kecil dari putri kecilku, "Tapi Mom tidak sehebat Dad. Aku lebih suka Dad yang menceritakannya."

Dengan tersenyum penuh arti aku membalas ucapannya, "Mom pasti akan marah kalau tahu kau tak menyukai ceritanya.."

Reaksi tubuh Lintang menegang, ia melepaskan pelukan itu dari leherku.

"Jangan beritahu Mom, Dad."

"Memangnya kenapa?"

Lintang menundukkan kepalanya, "Mom bisa sedih.."

Aku tertawa geli melihat tingkah lucu putriku. Dia anak yang cukup perasa rupanya. Lagi, aku mengusap puncak kepalanya. Aku bahkan tidak menyadari suasana disekitar kami berubah ramai. Beberapa murid sudah datang. Kami bahkan harus menyingkir dari depan pintu ruang kelas, untuk memberi akses bagi murid lain masuk ke dalam ruangan.

"Baiklah. Dad tidak akan memberitahukannya, Tuan Putri."

Mendengar aku memanggilnya dengan sebutan Tuan Putri, Lintang mengembangkan rok sekolahnya dengan kedua tangannya. Kembang ke kiri dan kanan. Lalu ia menekuk lutut kirinya. Percis seperti kelakuan putri-putri kerajaan saat menghadap sang raja.

"Terimakasih, Dad." Ia tersenyum memamerkan sederet gigi mungilnya. Aku terkekeh geli.

"Sudah masuk sana. Dad masih harus ke kantor, Sayang." Aku melirik jam tanganku.

Dengan mantap Lintang mengangguk, lalu ia memilih masuk ke dalam kelas. Aku memperhatikannya dari jendela kaca. Setelah memastikan bahwa ia sudah duduk di tempatnya, aku melambaikan tanganku dari jendela kaca. Tanda perpisahan, aku harus segera ke kantor.

Nah, Keenan.. kalau memiliki anak se-menyenangkan ini.. Mengapa kau tidak menanggung jawabinya sejak dulu? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu menggelayuti pikiranku akhir-akhir ini. Akhir-akhir ini, semenjak aku memutuskan untuk menikahi Anastasya.

****

Sundea

Aku mempelajari deretan angka-angka lewat microsoft excel yang ada di hadapanku. Ini hasil penjualan butik selama satu bulan belakangan. Persediaan stock tas channel di butikku sudah mulai sedikit.

Aku bersyukur sekali butikku semakin mengembangkan sayap. Benar kata Keenan, wanita bertangan besi yang memimpin. Aku jadi tersipu sendiri setiap kali mengingatnya. Apalagi kejadian tadi malam, kami berdua sama-sama larut dalam tawa yang tak habisnya. Keenan baru berhenti mengerjaiku saat aku memohon untuk dihentikan. Aku tak tahan digelitik.

Be my perfect hubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang