Short story Lintang

22.3K 853 8
                                    

Sudah lebih dari lima belas menit Lintang berada di dalam kamar mandi, dan selama itu dia belum juga menunjukkan dirinya. Padahal matahari kian meninggi, dan itu artinya Diyan sudah harus bergegas masuk ke kamar mandi atau kalau tidak dia akan terlambat ke kantor.

Diyan mengetuk pelan pintu kamar mandi. Handuk putih dililit melingkar di lehernya. "Sayang, apa kita bisa bertukar tempat? Kurasa aku sudah hampir terlambat sekarang."

Tidak ada suara. Diyan merasa aneh. Dia mengetuk sekali lagi.

"Sayang.... Lintang..." Diyan mengetuk lagi, kali ini ketukannya lebih cepat. Dan tidak juga terdengar suara. Dia mulai cemas.

"Say...."

Belum juga dia selesai mengucapkan kalimatnya, dari dalam sudah terdengar suara. "Y-ya... tunggu. Aku akan keluar." Lalu terdengar bunyi kran dari wastafel, tak lama dimatikan. Lalu sosok bermata cokelat itu keluar dari dalam. Lintang dengan mata cokelat sembabnya. Jelas itu bukan efek baru bangun tidur, tapi karena menangis. Diyan paham sekali dengan situasi ini.

"Hey, are you okay?" Diyan meraih bahu istrinya kemudian mengusapnya lembut. Matanya mencari-cari airmata yang barangkali meninggalkan jejak di pipi kemerahan milik istrinya itu.

Lintang menunduk. Sebelah tangannya disembunyikan dibelakang tubuhnya.

Diyan meletakkan jemarinya dibawah dagu Lintang, dan mengangkat perlahan wajah Lintang agar mau menatapnya. "Kenapa? Something happen?"

Suara Diyan begitu rendah, begitu lembut. Menyejukkan sekaligus menikam bagi Lintang, oleh sebab itu dia menangis. Bibirnya bergetar, bahunya berguncang, dan tahu-tahu airmatanya mulai tumpah. Tangan yang sejak tadi dia sembunyikan dibalik tubuhnya, kini digunakan untuk menutup mulutnya agar suara tangisnya tak meledak.

Tak butuh waktu lama untuk Diyan tidak mengerti, situasi seperti ini bukan sekali dua kali terjadi. Bila ada sesuatu hal yang bisa membuat Lintang menangis, itu pasti karena benda itu. Karena sesuatu hal yang sejak tadi digenggam Lintang namun disembunyikan dibalik tubuhnya.

Dan sekarang, terlambat bagi Lintang untuk menyadari bahwa benda itu tidak lagi bisa disembunyikan. Diyan sudah tahu.

Dengan lembut, Diyan mengambil benda itu dari genggaman tangan Lintang. Alat test pack itu akan mempertegas semuanya.

Lintang semakin tertunduk saat dia tahu Diyan mengambil benda itu dari genggamannya, dan melihatnya, dan mengamati hasilnya. Sudah bisa dipastikan, garisnya hanya satu. Tandanya pun bisa dipastikan negatif. Lintang malu, dia telah gagal---lagi.

Melihat hasil itu, Diyan menghela napasnya. Tidak ingin perasaan hancur terlalu lama menggerogoti pikirannya, dia menyimpan alat itu di kantung celana piyamanya, lalu buru-buru meraih tubuh istrinya.

"Tidak apa-apa. Kita masih bisa mencobanya," kata Diyan sambil menepuk pelan punggung istrinya.

Tangis Lintang semakin tumpah. Airmatanya sudah membasahi baju piyama Diyan. "Maaf Diyan, maaf. Aku belum mampu memberikanmu keturunan."

Diyan mencium puncak kepala istrinya, kemudian menggesek-gesekkan dagunya diatas kepala Lintang. "Kan sudah kubilang, kita masih bisa mencoba. Jangan berpura-pura tidak mendengarnya, Sayang. Dan jangan membantah."

"Semua tidak akan sesulit ini kalau ova...."

"Ssssst. Jangan teruskan." Diyan melepas pelukannya dan menatap dalam pada wajah istrinya, kini mereka saling bertatapan. "Kita sudah sepakat tidak akan pernah membahas soal itu."

Mengenai ovarium Lintang yang hanya satu, mereka memang sudah sepakat tidak akan membahas soal itu. Diyan dengan segala bentuk kecintaannya pada Lintang, sangat tidak ingin melukai Lintang dengan fakta-fakta menyebalkan itu.

"Selama masih hidup, kita akan selalu punya pengharapan. Jika satu jalan tertutup, bukan berarti jalan lain tidak ada. God will make a way." Diyan menghibur istrinya. "Dua tahun memang bukan waktu yang sebentar, tapi bukan berarti itu jadi ukuran kita untuk memaksa Tuhan bertindak cepat supaya memberikan kita keturunan. Mengerti kan, Sayang?"

Lintang mengangguk. Merasa sudah lebih baik, ia menghapus airmata di pipinya dengan punggung tangannya. Kemudian memaksakan dirinya untuk tersenyum.

"Bagus. That's my wife, Mrs. Sinatria." Diyan menyeringai lebar. Hatinya serasa puas meski itu artinya hanya melihat Lintang tersenyum, setidaknya begitulah defenisi bahagia menurutnya. Melihat istrinya tersenyum.. itu saja sudah cukup mengalirkan energi baik baginya, meskipun Tuhan belum mempercayakan keturunan bagi keluarga kecil mereka.

Yaaakkk inilah blurb ttg kisah Lintang. Untuk lanjutannya bisa dilihat di works aku yang judulnya: Being Pregnant (stroy of Lintang). Ga bisa janjikan apa2, ya semoga aja rajin nulis, mengingat banyak tulisan saya belum tamat2. Huhuuuuu :'( :'(

Be my perfect hubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang