Part 4

39.9K 2K 9
                                    

Sundea

Kevin dimakamkan pada liang lahat itu. Setelah pencarian selama hampir dari dua minggu akhirnya seluruh penumpang dan awak pesawat ditemukan. Jenasah nya masing-masing dikembalikan ke keluarga. Jadi, disinilah Kevin sekarang.

Aku hanya terpekur memandang tanah merah basah itu.

Nisan nya belum bagus betul. Masih nisan sementara berbentuk kayu. Bisa ku lihat jelas bahwa nama Kevin Airlangga tertulis disitu. Jangan melihat ke baris dibawahnya, itu hanya akan menambah perih.

Lahir: 20 Januari 1984
Meninggal: 1 November 2015.

Menyedihkan sekali, ia hanya mampu bertahan sampai berumur 31 tahun.

Aku tidak menyangka semua secepat ini.

Ku pegang nisan itu, aku bahkan tidak mampu lagi menangis.

Aku ingat, aku tidak boleh menangis atau cemberut. Pesan terakhirnya saat aku mengantarkannya ke bandara, "Sudah jangan merengut begitu.. aku kan sudah mau berangkat. Jangan iringi kepergianku dengan ngambek begitu.."

Pada saat itu, ia menujukan kalimat itu untuk menenangkanku karena aku kesal melihat dirinya masih saja membelikan Lintang cokelat sebagai oleh-oleh. Tapi, jika ditarik maknanya untuk saat ini, aku tahu benar kalimat itu adalah kalimat untuk menegarkanku. Ia tidak ingin aku bersedih.

Lama dalam perenunganku, ku rasakan sebuah tangan menepuk pelan bahuku. Aku menoleh sebentar. Rupanya Ibu mertuaku. Ia menyembunyikan wajah sedih dan mata sembabnya dengan kaca mata hitam miliknya. Aku tahu benar itu.

"Ayo kita pulang, Lintang sudah menunggu di rumah."

Ah, aku ingat sekarang. Lintang memang sengaja tidak hadir di pemakaman. Kami mengkhawatirkan jiwanya akan terguncang, maka untuk mencegah hal itu.. saudara sepupuku sengaja mengajaknya pergi bermain. Kemana saja. Asal tidak ke rumah atau ke tempat pemakaman ini.

Aku mengangguk menyetujui permintaan Ibu mertuaku. Tak lupa aku mengucapkan salam perpisahan untuk Kevin.

"Aku pulang dulu, Kev. Lintang menunggu."

Memang, Kevin tidak mendengar. Tapi aku tidak peduli. Lalu sejurus kemudian, ku langkahkan kakiku gontai. Aku harus berdiri tegak. Semua demi Lintang.

****

Keenan

Aku bisa melihat dengan jelas, ia berusaha menegarkan langkahnya. Mungkin berhasil di pemandangan oranglain. Tapi tidak denganku.

Ia hanya sedang berusaha.

Dan aku sedang menghargai usahanya.

Maka aku membiarkannya berjalan mendahului kami. Aku, Ibuku, juga Ayah dan Ibu kandungnya sendiri.

Namun meski begitu, aku masih mengawasi setiap langkahnya. Takut kalau sewaktu-waktu ia tidak sanggup dan terjatuh.

Ibuku jauh terlihat lebih tegar daripada dirinya, mungkin ia terbiasa menghadapi kehilangan. Dahulu, saat mengantar kepergian ayahku, aku tahu ia tidak setegar ini.

Mungkin yang ada dipikiran Ibu sekarang adalah, akhirnya ayah punya teman didalam sana. Ya, ayah dan Kevin satu liang lahat. Ibu yang memutuskan hal itu.

Untuk hal-hal pribadi yang belum dijelaskan Ibu, aku mengerti betul apa tujuan Ibu meletakkannya disana.

Tapi, wanita itu tidak cukup kuat.

Benar saja, seketika langkahnya mulai limbung.

Aku yang sejak tadi memperhatikannya, segera berlari menghampirinya. Lalu menahan tubuhnya. Meraih siku tangannya untuk tetap berdiri tegak. Aku bahkan tidak mempedulikan celana hitam ku jadi kotor terkena cipratan lumpur karena aku baru saja berlari. Tanah pemakaman memang basah, hujan membasahi bumi satu jam yang lalu. Seolah ikut berduka.

Be my perfect hubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang