Part 17

28.3K 1.8K 17
                                    

Sundea

Weekend ini aku memilih untuk menghabiskan waktu di rumah Papa dan Mama. Aku dan Lintang memilih untuk tidak kemana-mana. Lagipula Lintang sangat merindukan Opung Doli dan Opung Boru nya, katanya. Tentu saja aku mengiyakan permintaannya. Sekaligus aku pun menengok keadaan kedua orangtuaku.

Di rumah Papa dan Mama, Lintang begitu berlimpah kasih sayang. Mungkin itu sebabnya ia pun merindukan suasana seperti ini. Selain itu tetangga sebelah rumah juga memiliki seorang anak perempuan yang seusia dengan Lintang. Setiap kali Lintang datang, maka setiap kali itu pula mereka bermain bersama. Teman bermain itulah yang tidak Lintang dapatkan di lingkungan tempat kami tinggal. Kompleks perumahan kami dihuni oleh pekerja sibuk semua. Termasuk aku. Jadi sangat sulit sekali ditemukan anak-anak yang menghabiskan waktu di rumah dengan bermain. Kebanyakan dari anak-anak mereka akan berada di tempat les. Aku memilih untuk belum saatnya memasukkan Lintang ke tempat les. Sehabis pulang sekolah, aku lebih memilih menempatkannya di sisiku. Tepatnya menemaniku di butik.

Lintang tidak pernah protes, sesekali jika ia bosan aku akan menemaninya bermain. Aku benar-benar tidak ingin kehilangan masa kecil nya. Dan aku bersyukur, semenjak kecilnya aku sepenuhnya merawat tumbuh kembangnya. Aku tidak pernah bangga menjadi wanita karir yang begitu sibuk dengan dunianya.

"Tidak terasa ya boru... Lintang sudah besar.." kata Papa tiba-tiba kepadaku. Sore itu, aku dan Papa sedang duduk berdua di teras rumah sembari mengamati Lintang dan Jelita (anak tetangga sebelah rumah itu) bermain bersama di halaman rumah Papa dan Mama. Sedang Mama memilih menghabiskan waktu di dapur menyiapkan makan malam dibantu oleh Mbok Irah.

"Iya, Pa.." aku menyahut sambil pemandanganku tetap mengawasi putri kecilku yang sedang bermain masak-masakkan. Ada perasaan tenang saat Papa memanggilku dengan sapaan khas nya boru. Boru dalam bahasa batak diartikan sebagai panggilan sayang untuk anak perempuan. Dan aku selalu bangga saat Papa memanggilku demikian. Ia tidak perlu kosakata bahasa inggris untuk memanggilku. Yang ia mau hanya bahasa dari daerahnya untuk menamaiku sebagai buah hati kesayangannya.

"Kau membesarkannya dengan baik. Papa bangga padamu boru.."

"Papa yang mengajarkan Dea.." aku mengulum senyum sambil melihat ke arah Papaku. Ia menghidupkan cerutu nya. Diusianya yang ke-60 ia masih saja betah merokok. Terlihat keriput tulang pipinya saat aku menoleh ke arahnya. Ah, Papa sudah menua...

"Hahaaaa..." Papa tertawa, kali ini cerutunya sudah menyala, "Boru ku sudah besar rupanya. Sudah pandai mengurus anak."

"Bukan hanya aku, Pa. Kevin juga."

Ya, aku tahu benar Kevin ikut andil terhadap pertumbuhan Lintang.

"Ah anak itu..." Papa menggumam sambil menghisap cerutunya, "Papa jadi rindu.."

Aku mengangguk pelan, menandakan aku sepenanggungan dengannya.

"Lalu bagaimana cucuku itu menjalani hari tanpa Daddy nya? Papa dengar dari Mama bahwa selama ini Keenan sering bertemu dengan Lintang. Benar itu boru?" Kini gantian Papa yang menatapku. Aku membuang tatapanku ke arah lain. Entah kenapa aku ragu untuk menjawab.

Aku takut Papa marah. Sama seperti kejadian hampir lima tahun yang lalu saat aku mengakui kehamilan akibat hubungan terlarangku dengan Keenan. Aku ragu ia akan menerima saat aku menyebutkan nama Keenan saat ini.

"Kenapa diam boru?"

Aku menggeleng, kemudian memberanikan diri menatap Papa sekilas lalu tersenyum.

"Jangan berbohong, boru.. Papa tahu betul siapa kau itu. Kau takut Papa mu ini memarahimu karena mengijinkan Lintang untuk dekat dengan Keenan, kan?"

Be my perfect hubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang