Part 8

27.9K 1.8K 17
                                    

Keenan

Entah keberanian darimana yang membuatku begitu tidak mempedulikan keselamatanku. Kalau saja ada polisi lalu lintas di tengah malam ini aku pasti sudah ditilang. Mobil land cruizer ku melaju dengan kecepatan 90km/jam membelah jalanan kota Jakarta tengah malam ini.

Aku tidak peduli apapun, meski aku hampir saja menyerempet seorang pengendara motor. Yang aku perlukan sekarang hanyalah bertemu Lintang. Aku butuh untuk mengetahui keadaannya.

Tidak jelas apa yang membuatku panik seperti ini. Belum pernah ku rasakan gelisah sedahsyat ini. Aku tidak sempat memikirkan mengapa. Yang aku tahu hanyalah, aku perlu untuk berada disisinya. Memangnya perlu alasan untuk menyayangi seseorang?

Dan ku rasa kita semua memiliki hati nurani dan belas kasihan terutama itu pada keponakan kita sendiri. Hingga aku sampai pada suatu kesimpulan, aku Paman nya, dan aku berhak untuk melindunginya.

Hanya butuh 15 menit dari waktu Anastasya menutup telfon terakhirnya pada Ibu ku tadi, dan kini aku sudah sampai di sebuah rumah dengan pagar bermotif kayu dan bangunan minimalis khas rumah modern saat ini. Dengan cepat ku naiki tangga teras rumahnya, kepalan tanganku tak henti menggendor pintu rumah nya.

Lalu,

Wanita itu datang membukakan pintu untukku.

Dia tampak berantakan dengan baju tidurnya, sepertinya kurang istirahat. Ada lingkar hitam dibawah matanya. Heran, bisa-bisanya ia merahasiakan sakit Lintang selama dua hari ini dari aku dan Ibu. Ia memilih menanggung bebannya sendiri. Tapi sudahlah.. aku tak ingin terlibat terlalu dalam di pemikiran kecewaku ini. Anastasya selalu punya alasan. Yang mungkin jika aku mau berasumsi, ia melakukan itu untuk menghindari bertemu denganku.

Segera ku terobos pintu masuk itu saat ia membukanya. Seperti orang kalang kabut aku mencari sesuatu. Aku ingin bertemu Lintang, tapi aku tidak tahu dimana kamar nya.

Lalu, bergegas aku mendatangi Anastasya yang masih berdiri di dekat pintu masuk. Ia baru saja menutup pintu. Ku raih pundaknya, ku guncangkan tubuhnya pelan,

"Dimana Lintang?"

Anastasya memperhatikan posisi tanganku yang berada diatas pundaknya. Ia menepis lembut kedua tanganku. Kemudian ia memintaku mengikutinya.

Aku mengikutinya, ke sebuah kamar bernuansa hijau dan putih. Di temboknya diberi walpaper berbagai jenis binatang. Tempat tidur single ukuran anak-anak ada ditengah ruangan. Dan aku bisa melihat, Lintang terbaring disana.

"Ya Tuhan Lintang!" Aku terenyuh melihat dirinya. Gadis cilik nan riang itu sedang tidak berdaya di pembaringannya. Bergegas aku menuju sisi kiri tempat tidurnya, ku genggam tangan mungilnya, dengan telapak tanganku mencoba merasakan suhu tubuh lewat dahi dan lehernya.

"Panas sekali.." aku berkata kepada Anastasya yang ada dihadapanku. Berdiri disisi kanan Lintang.

"Sudah dua hari" katanya dengan nada lemah.

"Sudah minum obat?"

Ia mengangguk lemah, "Sudah. Tapi belum turun juga.."

"Sudah dikompres?"

Ia mengangguk lagi.

Aku menatapanya cemas. Mencoba mencari jawaban hal apa gerangan yang membuatnya belum sembuh. Lintang menggumam tidak jelas, matanya memejam namun seperti menahan perih.

Kasihan Lintang, batinku dalam hati.

"Kenapa dia begini, Sya?"

Aku yang belum pengalaman di bidang anak-anak, tentu saja tidak paham masalah ini. Anastasya mendesah berat. Seperti ada beban yang ia tahan selama ini. Aku bisa melihat raut kebimbangan dalam wajahnya.

Be my perfect hubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang