"Bisa kita mulai wawancaranya sekarang?"
Dion ditempatnya membeku bagai orang yang sudah tenggelam di dalam air es selama satu tahun penuh saat mendengar suara itu.
"Maaf, pasti kamu bingung sekali ya sekarang." Katanya lagi sambil tertawa dan menghampiri Dion yang sekarang seperti mayat hidup di depannya.
Melihat orang itu maju, Dion malah takut setengah mati. Tangannya seketika dingin. Jantungnya berdegup kencang.
"Sekali lagi saya minta maaf karena pesawat saya delay dan membuat saya jadi terlambat datang kesini." Ucapnya tulus penuh rasa bersalah.
Dion tetap membeku ditempatnya. Melihat reaksi lelaki itu yang sedari tadi hanya diam membeku, membisu, mematung dan entah apa istilah lainnya, orang itu kembali tertawa.
"Ah, kamu pasti bingung ya melihat saya karena tidak sesuai dengan ekspektasi kamu?" Tanyanya yang melihat ekspresi wajah Dion sekarang ini. Sekali lagi, Dion masih membeku memperhatikan orang itu berbicara.
"Jadi begini, teman saya yang bernama Franco tidak bisa datang. Jadi, saya diutus ke sini untuk menggantikan tugasnya." Jawabnya menjelaskan sambil tersenyum.
"Perkenalkan nama saya Alana Hayln." Ia mengulurkan tangannya ke arah Dion.
Masih diam ditempatnya, Dion tak membalas jabatan tangan gadis yang bernama Alana Hayln itu dan hanya memandanginya lekat-lekat. Mata Dion bahkan sempat terpejam saat gadis itu mengucapkan namanya dan ketika lelaki itu membuka mata terlihat burat-burat kemerahan disekitar bola matanya. Segera saja Dion alihkan pandangannya ke samping sambil mengerjapkan matanya ke atas beberapa kali sebelum gadis itu melihatnya. Ia tak mau terlihat cengeng di depan Alana. Tapi Alana sudah terlebih dahulu melihatnya. Pedih, sakit, bahagia, amarah dan kecewa bergabung menjadi satu pada diri Dion. Alana tahu itu dan rasanya ia ingin menghambur kepelukan lelaki itu, menciumnya, memeluknya lalu mengatakan betapa ia menyesal dan ingin minta maaf padanya. Tapi rasanya ia tak mungkin melakukan itu sekarang karena ekspresi Dion berubah menjadi dingin dan tak suka padanya.
Tiba-tiba Dion mengulurkan tangannya. Bukan untuk menjabat tangan Alana, melainkan ke arah lain. Ke arah kursi. "Silahkan duduk." Katanya dingin dan datar.
Alana kaget. Ia menarik kembali tangannya. Jelas ini bukan reaksi yang gadis itu harapkan. Tapi, seakan paham dengan kekecewaan yang Dion rasakan, Alana tersenyum kecut dan menuruti kata Dion untuk duduk di kursi yang ditunjuk lelaki itu.
"Tolong percepat sesi wawancaranya. Saya tidak punya banyak waktu karena keterlambatan kamu."
Alana langsung berhenti bergerak. Kalimat Dion barusan membuat jantungnya berdegup kencang. Kalau reaksi Dion tadi merupakan reaksi yang tak diharapkannya, kali ini reaksi Dion mampu membuatnya ketakutan. Ketakutan akan Dion yang membenci dirinya.
"Ba...baik..." Alana tergagap sambil menggigit bibirnya.
Perlahan kepercayaan dirinya hilang. Bayangan Dion yang akan menyambutnya dengan senyum dan pelukan, sirna seketika. Harusnya Alana mengantisipasi ini dan berpikir ulang tentang rasa percaya dirinya yang terlalu tinggi kalau lelaki itu akan menerimanya kembali dengan senang hati. Ia seakan lupa kalau sikap dingin Dion barusan adalah akibat ulah dirinya.
Coba pikirkan ini. Siapa yang akan dengan senang hati melihat orang yang telah menjungkir balikan dunia kalian, pergi dan tak memberi kabar sekalipun lalu tiba-tiba datang dengan senyum tidak bersalah?
Ya, aku memang tidak punya hak untuk marah dengan sikap Dion saat ini. Aku yang membuatnya seperti ini...
Sambil merapalkan doa dalam hati dan menepis bayangan Dion yang nanti akan menolaknya dan membuat kepulangannya ini sia-sia, Alana mengeluarkan handphonenya dan memencet tombol voice recorder lalu meletakannya di meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
From Kitchen With Love
Roman d'amourDion Alderic Sudjatmiko merupakan seorang head chef yang baru bekerja di The Sheares's Quarters karena chef sebelumnya memutuskan untuk memulai karirnya di luar negeri. Alana Hayln, seorang gadis muda yang sudah lama bekerja di The Sheares's Quarter...