How do people know if he's into you? Di awal film He's Just Not That Into You, ada anak kecil laki-laki yang memukul teman perempuannya sampai menangis. Perempuan kecil ini mengadu ke ibunya sambil terisak-isak dan ibunya bilang, "Maybe he likes you."
Kalau rasa menyakiti berbanding lurus sama cinta anak laki-laki tadi ke teman perempuannya, mungkin Rania akan balik lagi ke mantannya Oscar atau Kak Atikah sekarang lagi diantar pulang sama mantannya Dimas. Nama laki-laki yang ditinggalkan dua perempuan hebat setelah dikhianati selama mereka berpacaran.
Maaf, tapi otakku hobi menjalar ke mana-mana kalau sudah asik browsing di Starbucks cukup lama. Di luar pasti macet banget karena hujan dan gak ada yang lebih baik dari menunggu kemacetan karena hujan sambil menyeruput hot chocolate Starbucks dengan sirup hazelnut tanpa whip cream dan browsing hal-hal random. Well, mostly life guidance.
Kadang kalau aku lupa bawa tab bututku, aku akan belajar mengamati orang lain dan mengklasifikan setiap pengunjung yang masuk ke Starbucks. Beberapa pengunjung di sini mungkin sama sepertiku menunggu macet dan hujan reda atau mungkin menunggu dijemput pasangannya, beberapa masih berkutat meeting, dan beberapa lainnya mungkin memang biasa menghabiskan waktunya di sini, mungkin juga sekedar quick catch up sama teman lama.
Sudah jam 19.35 sebenarnya, tapi badan ini masih enggan beranjak dari sofa. Hot chocolate-ku bahkan belum habis setengahnya.
"Loh Andra, belum pulang?" suara renyah ini muncul lagi. Bicara soal suara renyah Wisnu, aku bisa gambarkan kalau suaranya mirip voice over iklan-iklan di radio Jakarta, sebelas dua belas dengan suara penyiar kakak-beradik favoritku, Sammy dan Rio. Suara Wisnu bisa dibilang ada di posisi ketiga. Bikin senang gak dengarnya?
"Hi. Belum, masih nunggu macet sama ujan. Loh gak balik?" aku mendadak berdiri sambil menjawab pertanyaannya, hampir salah tingkah. "Belum, mau balik kantor lagi sebenernya tapi tunggu macet. Um, kosong?" tanya Wisnu lagi sambil menunjuk ke sofa kosong di depanku dan tanpa ragu sambil mendaratkan badannya yang sedikit kelihatan ringkih ke sofa.
Rasanya mau tarik nafas dalam, sedalam-dalamnya. Rasanya mau sedikit lihat pantulan kaca atau handphone untuk cek sekucel apa penampilanku setelah satu jam di sini. Dan rasanya mau kasih tau ke Wisnu, thank you for making me nervous for the next minutes. Kan, lagi-lagi Diandra kebingungan.
"Duduk aja. Eh iya gue lupa tanya ya tadi. How do you know Bagas exactly?" kedua tanganku sambil memegang hot chocolate, alih-alih untuk menghangatkan tanganku yang mendadak dingin karena kehadirannya. "Bagas dulu temen gue satu kosan di Bandung, pernah satu event bareng juga."
"Loh, kuliah di Bandung juga?" kata Bandung di pernyataannya jadi kata yang paling jelas aku tangkap. "Gue dulu ITB, Ndra, 2008. Lucu ya tiga taun sama-sama di Bandung baru kenal sekarang. Mungkin kita pernah sama-sama ada di lautan manusianya Pasar Seni ITB 2010 waktu belum kenal. Oh atau mungkin di PVJ, semua anak kuliahan Bandung kayaknya pasti ke sana. Bandung kan segitu-gitu aja pasti pernah ketemu harusnya," pernyataan macam apa ini Wisnu. Jantung rasanya makin deg-degan gak karuan.
"Hahaha iya ya mungkin kita pernah crossed path waktu belum kenal. Gilaaa udah lima tahun lalu aja. Bandung bikin kangen ya..." dan kami pun mulai bercerita soal Bandung. Kebiasaan-kebiasaan semasa kuliah, tempat makan yang murah sampai fancy untuk anak kuliahan, gigs seru di kampus lain, dan beberapa mutual friends kami lainnya selain Bagas.
Aku bisa lihat semangatnya Wisnu waktu cerita bagaimana awal-awal perkuliahannya, masa-masa masih naik travel dan bawa banyak barang layaknya orang mau pindahan. Wisnu juga mulai tertawa terbahak-bahak saat cerita kebiasaannya makan Pagi Sore sebagai menu sarapan, makan siang, sampai makan malam. Atau bagaimana seru dan ribetnya waktu jadi panitia Pasar Seni.
Aku jadi merasa kenal Wisnu paling gak profilnya secara umum dan sedikit detail-detail kecil tentang hidupnya. Siapa sangka Wisnu bisa seterbuka ini. Malam ini aku juga lihat sosoknya yang lain di luar meeting yang jauh lebih menyenangkan. Dia kelihatan senang dengan cerita-cerita semasa kuliah, terutama bagian Bagas yang hobi gonta-ganti perempuan Bandung selama empat tahun kuliah di sana. Sorry ya, Gas, but I really should thank you as well.
"Tapi Bandung paling juara pas ujan. Di kosan, di jalan, atau di kampus malem-malem dan hujan rintik-rintik. Sendiri atau sama siapapun selalu bikin hati tenang," aku perhatikan gerak bibirnya dalam gerakan lambat, matanya yang berbinar saat cerita soal ini. Duh, Diandra salah fokus! Aku cuma balas singkat dengan kata iya dan senyuman sambil menyeruput lagi hot chocolate-ku yang kian habis.
And time flies when you enjoy it. "Eh udah jam 20.45. Kayaknya gue mesti ke kantor lagi nih, Ndra. Balik?"
"Yuk, udah jam segini, turun bareng aja. Obrolan Bandung bisa sampe selama ini ternyata ya, Nu," aku membereskan tab bututku, mengelap sedikit bibirku, dan kami bergegas ke bawah dengan lift. Kami berpisah di Ground Floor, Wisnu akan naik taxi dari Lobby Timur. Sebelum kakinya melangkah lebih jauh ke antrian taxi, Wisnu menepuk pundakku, "Well, see you soon, Ndra. It was fun. Drive home safely!"
Aku cuma bisa balas dengan senyuman, punggungnya mulai hilang dari pengelihatan. It was fun too, Wisnu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Diandra
Chick-LitBeing clueless over men's signs is a problem for Diandra Natalia Adiningrat atau Andra begitu ia disapa teman-temannya. Di umurnya menuju seperempat abad, Diandra kurang lebih sama seperti wanita seusianya yang sering diam-diam membaca artikel tenta...