"Kenapa, Ndra?"
"Ga apa-apa, Nu. Sampe mana tadi kita?"
"Hahaha gak sampe mana-mana. Abisin itu bebek lo daritadi masih segitu aja," I guess I just made that face again. Raut muka yang mendadak bisa berubah drastis seketika saat mendengar kabar bahagia, sedih, atau panik. Raut muka yang sudah dihafal Rania sama Azka. Dan Wisnu juga kayaknya mulai hafal. Aku bahkan tidak tahu tadi mukaku bagaimana selepas membaca pesan dari Arjuna.
Aku hampir lupa hari ini ada janji dengan Arjuna dan parahnya lagi kami akan bertemu di tempat yang sama pula, Urban Kitchen. Okay, great.
"Abis ini balik kantor, Nu?"
"Iya, Ndra udah ditunggu bos di kantor. Sorry nih agak buru-buru guenya. Lupa jam 2 ada meeting," Iya gak apa-apa Wisnu, satu jam saja sudah cukup rasanya buat aku senyum-senyum seharian ini.
Wisnu memang agak terlihat terburu-buru setelah melihat jam di tangan kirinya. Walaupun masih di sekitaran SCBD, aku pasti tetap panik jadi Wisnu karena macet di SCBD jam makan siang sulit diprediksi. Kami segera menghabiskan makan siang masing-masing.
"Yuk, Nu."
Sepanjang perjalanan dari Level 5 ke Ground Floor, aku memperhatikan perempuan seumurku yang berpapasan dengan kami. Saat keluar dari Urban Kitchen, eskalator, semua mata tertuju ke Wisnu Harum Hadisuryo. Aku baru sadar Wisnu seatraktif ini untuk perempuan-perempuan seumurku. Mungkin karena gayanya yang geek dan santai gak macam-macam seperti pria kebanyakan.
Padahal outfit kantornya masih sama seperti hari lainnya, kasual. Kemeja, kacamata kotak, sneakers, bahkan rambutnya hari ini terlihat lebih berantakan dari biasanya. Dengan dandanan biasa seperti ini saja banyak perempuan yang sulit melepaskan pandangannya dari Wisnu. Apa kabar kalau mereka lihat Wisnu di acara tunangan Rania Chandra minggu lalu?
Tapi Wisnu sepertinya kurang memperhatikan dirinya sendiri. I bet he's one of the guy who could care less what people think about him.
"Ndra, gue ke sana ya naik taxi. Bye, thank you ya," Wisnu berjalan menjauh dan kami berpisah. Rasanya masih happy gak karuan, kalau ini film, maka aku akan rikues agar scene ini dilatarbelakangi lagu one hit wonder dari Jamie Scott & The Town, When Will I See Your Face Again?
Handphoneku bergetar lagi tanda ada telepon masuk, mungkin datangnya dari kantor, pikirku santai. Sayangnya tidak, datangnya justru dari Arjuna Ardiwilaga.
"Ya, kak? Oh iya maaf belum aku bales WhatsAppnya. Nanti aku bisa kok."
"Oh syukurlah. Saya kira kamu lupa, Ndra. Sampai ketemu kalau gitu ya," singkat, padat, dan jelas, tipikal Arjuna. Siapa sangka telepon tadi datangnya dari Arjuna Ardiwilaga. Oke, Ndra, be tough seperti kata Rania. You have no idea what's the talking about today.
***
18.30
Sy sudah di sini. Dekat jendela ya.
Is this a joke? Setelah pemilihan tempat yang sama yaitu di Urban Kitchen seperti siang tadi, Arjuna bahkan memilih tempat duduk yang mengarah ke jendela. Spot favoritku siang ini bersama Wisnu.
Aku bergegas ke Level 5, tanganku mendadak dingin. "Halo, kak," sapaku pada Arjuna. Muka yang sudah lama tidak aku lihat. Arjuna hari ini pakai batik lengan pendek dan seketika membuat tampilannya lebih dewasa. Fokus ya, Ndra.
"Kamu pesen makan dulu aja. Saya udah pesen kok,"
Kami kembali melanjutkan pembicaraan selagi menunggu pesanan datang, Arjuna tampak tenang. "Kalau Sabtu minggu depan gak ada acara, kamu datang ya, Ndra," tak lama Arjuna menyodorkan sebuah amplop tebal berwarna merah maroon, ada dua nama terukir dan dicetak dalam warna gold, Arjuna & Alanda. It's their wedding invitation.
Tanganku sedikit gemetar ketika hendak membuka amplopnya, mataku sudah terasa berat, badanku mendadak lemas. "Cepet banget...."
"Selamat ya, Kak."
"Anak-anak lain sebenernya sudah ada beberapa yang tau, tapi memang gak saya undang pakai hardcopy begini baru via WhatsApp aja. Informal. Kamu sering saya repotin, jadi rasanya wajib saya kasih langsung. Dateng ya, Ndra."
Kalau di sebelahku ada Rania dan Azka, badanku pasti sudah jatuh ke pelukan mereka dan menangis sejadi-jadinya. Tapi di depanku ada Arjuna. Masak iya kamu mau nangis, Ndra? Ingat kata Rania, be tough.
"Pasti diusahain dateng kok, nanti barengan sama anak-anak lain," aku bingung harus bilang apa lagi. Rasanya itu saja yang bisa aku sampaikan sebagai tanda bahagia atas Arjuna dan Alanda. Mungkin ada sekitar 10 detik keheningan di antara kami berdua setelah kalimat terakhir tadi.
Tetiba aku teringat pada kado untuknya yang belum aku berikan. Setelah terakhir kali aku melemparnya ke jok mobil, tadi pagi aku sudah memindahkannya lagi ke dalam tas. Aku menyodorkan amplop dan notebook yang aku beli beberapa minggu lalu ke hadapan Arjuna. "Oh iya, ini sebelum lupa, late birthday gift."
Arjuna membuka amplopnya dan membaca dengan seksama tulisan dalam cover notebook tersebut. "Semoga suka ya, Kak. Mungkin bisa diisi pengalaman jalan-jalan sama Alanda nanti," entah apa yang aku bicarakan, rasanya seperti words vomit.
"Thank you ya, Ndra. This means a lot. Simpel tapi thoughtful banget," ucapnya sambil tersenyum. "Kamu juga jangan berhenti traveling-nya ya. Coba cari pasangan yang suka jalan juga pasti seru. Kalo Alanda mesti saya bujuk sepenuh hati dulu biar mau jalan apalagi kalau lagi mau backpacker."
Aku cuma bisa tertawa kecil setiap kali ia menyebut nama Alanda. Dan semakin lama aku di hadapannya, semakin ingin rasanya menitikkan air mata. Rania, I can not be any tougher than this.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diandra
ChickLitBeing clueless over men's signs is a problem for Diandra Natalia Adiningrat atau Andra begitu ia disapa teman-temannya. Di umurnya menuju seperempat abad, Diandra kurang lebih sama seperti wanita seusianya yang sering diam-diam membaca artikel tenta...