Chapter 14

4.2K 496 30
                                    

"Target kapan, Ndra?" pertanyaan yang makin lama terdengar makin familiar tapi kali ini datangnya dari Arjuna.

"Diandra yang saya kenal walau gak kenal-kenal banget itu orang yang paling sabar, susah ditebak kadang-kadang, tapi menarik. Saya kira dulu kamu pendiam banget, ternyata gak. Saya beruntung kenal kamu, Ndra. Mungkin ada banyak hal yang belum saya kenal dari Diandra aslinya."

Sebelum sempat menjawab pertanyaannya yang pertama, Arjuna kembali melontarkan pernyataan cukup panjang, entah apa maksudnya tapi hal ini semakin membuat mataku berkaca-kaca. Aku kembali mendengarkan dengan seksama.

"Ini beneran, Ndra. Mungkin itu juga yang buat saya kaku sama Andra. Maaf ya saya suka kaku kalo ngobrol sama Andra. Padahal ke anak-anak lain biasa aja. Mungkin kita harus coba, Ndra kapan-kapan. Gue-lo, santai ya, kan?"

Arjuna ternyata berpikir hal yang sama. Ada hal yang membuat kami begitu kaku ketika berbincang berdua. Aku pikir ini hanya aku, aku yang jatuh hati sampai terlalu kaku menghadapinya, tapi apakah mungkin Arjuna merasakan hal yang sama?

"Kata Teori Johari Windows, manusia itu seperti kaca jendela. Ada empat sisi kaca jendela yang berbeda, ada yang terbuka, buta, rahasia, dan tak dikenal. Jendela Andra banyak yang rahasia hehe. Eh iya, jendela gue maksudnya," words vomit lagi pikirku, entah kenapa malah teori komunikasi yang muncul dari bibirku.

"Ini Diandra yang saya suka, unik. Saya jadi belajar teori komunikasi malam-malam kan haha. Susah ya pake gue-lo. We should try harder," muka Arjuna terlihat bahagia. Belum pernah rasanya aku lihat mukanya setulus ini, raut mukanya bahagia, dan yang paling utama satu. Arjuna tidak terlihat kaku.

Dan perihal mengganti kata ganti di antara kami berdua rasanya tidak lagi terlalu penting bagiku. Why can't we just call each other this way as usual? Even if I'm not sure why we're calling each other this way, but I'm happy that at least that's the simplest yet meaningful thing that happens between us and yes it doesn't need to be changed at all.

"Or maybe we should not try harder, kak. Mungkin ini cara paling nyaman untuk kita ngobrol," iya, karena kami berdua kaku apa adanya. Arjuna terlihat diam sambil menyeruput tehnya, mukanya mendadak terlihat lebih serius. "Mungkin. Saya juga lebih suka begini adanya," Arjuna menghela nafasnya.

Mood-ku berubah perlahan, yang tadinya ingin nangis meronta-ronta sekarang justru lebih tegar menghadapinya apalagi setelah perbincangan tadi.

"Jadi kapan, Ndra target?"

"Katanya love happens when you least expect it. Jadi ya santai aja. Sekalian tunggu dia yang benar-benar bisa dobrak semua jendela Andra," aku mencoba bijak dan tenang menjawabnya.

"Puitis kamu, Ndra. Nanti kalau saya ada kenalan pujangga mungkin bisa dikenalin ke kamu haha saya becanda kalau ada kenalan yang terbaik buat Andra pasti saya kasih tau. Jadi cari yang gimana, Ndra?"

Kalau ada cermin besar di hadapan kami, mungkin aku tidak perlu berbelit-belit menjelaskan daftar kriterianya, aku cukup menunjukkan cerminnya ke Arjuna Ardiwilaga. Iya kurang lebih seperti kamu, Arjuna. Orang yang tidak perlu dipertanyakan sebabnya kenapa aku bisa jatuh hati, karena mungkin hati tidak perlu banyak tahu alasan sebab akibat.

"Haha apa ya, yang siap dibawa susah senang dan ditanyain macem-macem di depan Ayah sama Bunda," aku menghela nafas dan membalasnya dengan senyum (lagi). Aku memang sudah apatis soal set up promises, karena pada akhirnya jarang terjadi. Aku enggan menaruh harapan jodoh di tangan orang lain. Biar sutradaraku yang mencari aktornya entah bagaimana plotnya.

"Saya serius, Ndra. Mungkin nanti di hari Sabtu bisa saya kenalin. Dia adiknya temen baik saya dulu, saya undang juga kok. Makanya kamu dateng ya, Ndra."

Arjuna memang terlihat sungguh-sungguh kali ini. Walaupun aku belum bisa bayangkan bagaimana orang yang duduk di pelaminan masih bisa jadi mak comblang di tengah-tengah pernikahannya sendiri. Lalu orang yang akan dia bantu adalah Diandra, orang yang diam-diam masih menyimpan rasa di hatinya.

Aku membiarkan niatan baik Arjuna. Lagi, aku mencoba untuk tidak berharap terlalu tinggi karena aku tahu sakitnya nanti.

Kami mulai berbincang hal lain, tidak lagi soal pernikahan atau perjodohan dan hal-hal lain yang akan bikin mataku mendadak berair. Klise memang, tapi mungkin ini hari-hari terakhir aku dan Arjuna bisa berbincang berdua tanpa rasa canggung. Tanpa rasa khawatir di benakku.

Dua jam berlalu, kami pun memutuskan pulang.

"Saya antar sampai mobil ya. Kamu parkir di P1 kan?" Baru kali ini rasanya kakiku berat melangkah ke parkiran. "Ini mobilku, Kak."

Badan Arjuna semakin mendekat, kali ini perpisahan kami bukan hanya sekedar lambaian tangan. Bibirnya mengecup keningku dan tak lama memelukku erat, "Take care ya, Ndra."

Pipiku mendadak basah, tangisku tak bisa dibendung. Arjuna membukakan pintu mobilku, aku tahu dia melihat tangisanku malam itu. Aku menyalakan mobil, bersiap melaju, Arjuna melambaikan tangannya dari jauh. See you at your wedding, Arjuna.

DiandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang