Via hampir melangkah keseluruh bagian sekolah. Tidak ada sosok yang dicarinya muncul. Lelah. Ia berjalan menuju sebuah loker diujung koridor. Dengan kunci kecil, ia membuka loker tersebut untuk menyimpan kue.
"Hai.." seorang menyapanya dari belakang
"Kak Devan! Kok," matanya membulat begitu yang dihadapinya bukanlah Devan.
"Lo ngarep banget yang berdiri disini Devan?"
Via berlalu begitu saja. Meninggalkan lelaki yang sempat mendaratkan bola diwajah manis Via. Lelaki itu mengejarnya. Menghentikan langkah Via didepan toilet.
"Gue Bagas!"
Via menerawang mahluk didepannya dengan pandangan sinis. Lantas berteriak "tolonggg! Ada orang mesum!!"
Hanya perlu waktu beberapa menit lelaki yang semula berdiri itu kini tengah duduk menghalau pukulan-pukulan kecil dari beberapa siswi.
"Bye-bye" Via melanjutkan langkahnya.
Gita masih berjalan tertunduk. Matanya menatap sepasang sepatu yang menuntunnya. Seketika ia dihentikan oleh sahabatnya.
"Gita!"
"Via? Kenapa?"
"Gue nyariin kak Devan tapi nggak ketemu, ya udah gue cari Lo!"
Gita hanya tersenyum simpul.
"Lo kenapa, Ta? Duduk dulu"
Via melemparkan beberapa pertanyaan. Tapi, ia selalu mendapat jawaban yang sama. Tidak. Tidak. Dan tidak. Gita seolah tak ingin menceritakan masalah kali ini kepada sahabatnya. Tiba-tiba Devan muncul diantara mereka.
"Hai, Lo Via kan?"
"Kak Devan! Aduh gue nyariin Lo, kak! Akhirnya ketemu"
"Oh ya? Emang ada apa?"
"Ada yang mau gue kasih,"
Devan tersenyum "Gue seneng Lo nyariin gue!"
Via menatap Gita dengan sumringah. Pertanda perasaannya yang tengah gembira. Gita hanya membalasnya dengan senyum. Senyuman yang semoga dapat menutupi semua perasaannya.
Lantas Via menarik lengan Devan. Menuju loker yang berada diujung koridor.
Gita menatap lurus kearah dua orang yang semakin jauh. Ia tetap tersenyum. Gue masih bisa senyum! Harus senyum! Gerutu hatinya. Tanpa terasa titik demi titik air mata membasahi pipinya.
Dengan tangan halusnya, Gita mencoba menepis air mata yang semakin deras. Gita berlari membiarkan wajahnya memerah.
Tampak seseorang keluar dari balik tembok. Senyum sinis terpancar dari wajahnya. Amanda.
"Gue yakin, kalian nggak akan sama-sama lagi, tunggu aja, permainannya baru dimulai!"
-----+-----
Sedari tadi, bunga-bunga terus bermekaran dari wajah Via. Senyumnya seakan tak dapat dibendung. Ia mengingat kejadian tadi.
Via dengan cekatan membuka loker. Meraih kotak berisi cake. Menatap manis Devan, lantas menyerahkan kotak kue itu.
"Thanks ya, Lo baik banget!" ujar Devan
" Kak Devan suka?"
"Apa pun yang Lo kasih, gue pasti suka!"
Via tak dapat menahan perasaannya. Jantungnya seakan dipompa terlalu kencang.
Ia terhenti. Diliriknya Gita yang sedari tadi hanya diam tanpa suara.
"Lo kenapa sih, Ta?"
Gita memperbaiki kacamata yang digunakannya untuk menutupi mata bengkak diwajahnya. Lantas menggelengkan kepalanya.
"Ini apaan lagi? Pakek acara kacamata gitu" Via meraih kacamata dari Gita" mata Lo, kok sembab? Lo habis nangis? Kenapa?"
Gita tetap bungkam. Kali ini ia bungkam dengan senyuman.
"Gita, kalo Lo terus nggak jelas gini, mana ada cowok yang mau sama Lo?"
Mereka pun dikejutkan dengan kedatangan Devan dengan motor besarnya. Devan menatap kearah Via."Mau pulang bareng?"
Via membulatkan mulutnya, pertanda terkejut. Ia menahan batinnya untuk tidak berteriak. Sontak, Via menganggukan kepalanya. Tapi, seketika ia menatap kearah Gita meminta izin.
"Gue pulang bareng kak Devan ya? Nggak apa-apa kan?"
Gita hanya tersenyum pertanda 'ya'. Lantas Via menaiki motor. Mereka pun berlalu meninggalkan Gita yang masih dalam senyumnya. Sudah cukup jauh. Gita pun terduduk. Ia menangis diantara lipatan tangannya. Tangisnya makin keras. Seakan ingin melepaskan segalanya.
Beberapa menit kemudian, Gita beranjak pulang. Melalui trotoar yang masih ramai. Tapi seakan sepi baginya. Apa mungkin ia mampu melalui hari esok? Batinnya.
Gita masih bingung, kenapa ia harus menangis. Bukankah sejak awal dialah yang menolak hadirnya Devan. Mengapa sekarang seolah ia tak mampu bernafas tanpa lelaki itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Smile
Novela JuvenilSenyuman adalah sebuah hiasan yang akan menimbulkan berbagai jawaban. Dengan senyuman semua orang dapat mengekspresikan diri mereka. Tapi, pada masa ini, apakah aku bisa mempercayai sebuah senyuman dengan hanya melihatnya? Bahkan aku tak percaya men...