Via mendorong pagar tinggi rumahnya. Hari ini ia memang ingin pulang sendiri tanpa dijemput. Suasana hening. Hingga beberapa meter didepan rumahnya, terdengar suara benda pecah. Teriakan dan lainnya. Via hanya menghela nafasnya. Biasa! Gerutu hatinya. Ia melangkah masuk. Sebelum akhirnya seseorang menarik lengannya. Mencegah Via masuk.
"Bi titin?" Via terkejut
"Jangan non, jangan masuk!"
"Udah Bi, kan udah biasa! Bibi tenang aja" Via pun memaksa masuk yang tidak dapat dicegah lagi.
Mulai terdengar suara tangisan dan nada-nada tinggi. Benar-benar mengiris telinga. Via mencoba berpura-pura tidak tahu. Tiba-tiba seorang wanita terhempas keluar ruangan. Mama! Sentak hatinya. Bergegas ia menghampiri wanita yang lemas tak berdaya itu. Kepalanya penuh darah. Dengan tubuh yang memar.
"Mama! Mama kenapa?" teriaknya seraya memeluk erat sang mama.
Tak ada suara. Wanita itu tak sadarkan diri. Via beranjak mencari orang yang telah berbuat keji itu. Bukanlah orang lain. Orang yang selama ini ia sebut papa. Lelaki itu duduk tertunduk diatas tempat tidur. Ruangan itu terlihat berantakan. Dengan air mata yang hampir tumpah Via berdiri dimuka pintu.
"Puas? Saya sampai nggak sanggup memanggil anda dengan sebutan Papa!" teriak Via
"Anda sudah menghancurkan semuanya! Apa anda tau, betapa saya menderita selama ini? Yang saya mau hanya keluarga yang bahagia! Apa itu salah!" kali ini air matanya benar-benar tumpah.
Sopir dan seorang pembantu bergegas memboyong sang mama menuju mobil. Lantas membawanya ke rumah sakit. Via yang masih dalam tangisnya terus mengingat wajah kejam lelaki itu.
Mereka pun sampai di sebuah rumah sakit. Dengan cepat beberapa suster membantu membawa wanita parubaya itu mendapatkan pertolongan. Via mengiringi mamanya dengan air mata yang belum kering. Hingga sang mama memasuki ruangan. Via tak mampu membendung rasa sedihnya. Ia berlari meninggalkan ruangan tempat mama dirawat.
Langkahnya terhenti begitu bertabrakan dengan seorang pemuda. Bagas. Tanpa diduga mereka bertemu di rumah sakit. Lelaki itu menerawang kearahnya. Sebelum ia sempat bertanya, Via lantas menumpahkan tangisnya di dada Bagas. Suara tangisnya terdengar jelas. Bagas mencoba menenangkan gadis manis ini untuk beberapa saat. Ia tak berani bertanya apa-apa. Hanya diam menunggu hingga Via merasa lega.
-----+-----
Gita masih memegangi bibir merah mudanya. Dengan senyum sumringah. Saat-saat itu seakan menghantuinya. Gita tak mampu melupakan kejadian tadi. Sekarang bahagia tengah menyelimuti relung hatinya. Devan. Lelaki itu membuatnya benar-benar bahagia. Hingga Gita tak mampu menahan senyum manisnya. Tiba-tiba dering handphone memecah lamunannya. Gita menatap layar handphone. Via! Bergegas ia mengangkat panggilan itu.
"Halo, Vi? Ada apa?"
"Ini gue Bagas!" jawaban dari seberang
"Loh, Via mana? Kok Lo yang jawab?" kini Gita mulai khawatir
"Lo bisa dateng ke rumah sakit Tadika, sekarang? Nanti gue cerita semuanya"
"Ok, gue sekarang berangkat!"
Gita lantas mengganti pakaiannya. Bergegas menuju rumah sakit. Perasaan cemas menghantuinya. Ia khawatir terjadi sesuatu dengan Via. Beberapa menit kemudia Gita telah berada di depan rumah sakit. Ia keluar dari sebuah taksi dan lansung melanglah mencari keberadaan Via. Disebuah koridor, seseorang melambaikan tangan. Gita lantas menuju kearah orang itu.
"Bagas! Via mana?"
"Via ada didalam!"
"Via sakit? Sakit apa?" Gita mulai panik
"Nggak, bukan Via tapi mamanya"
Jawaban itu membuat Gita terdiam. Via tak pernah membicarakan riwayat penyakit orang tuanya. Gita pun mencoba masuk.
"Lebih baik, Lo jangan masuk dulu! Via masih sedih!"
Gita pun duduk disebelah Bagas "Via nggak pernah cerita kalo Mamanya sakit"
"Tapi Lo tau kalo orang tuanya sering bertengkar?"
Gita menganggukan kepala "jangan bilang, ini karena papanya Via?"
"Sejauh yang gue denger, gitu!" Bagas pun melanjutkan pembicaraannya. Membuat Gita hanya terdiam.
![](https://img.wattpad.com/cover/51894743-288-k766275.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Smile
Teen FictionSenyuman adalah sebuah hiasan yang akan menimbulkan berbagai jawaban. Dengan senyuman semua orang dapat mengekspresikan diri mereka. Tapi, pada masa ini, apakah aku bisa mempercayai sebuah senyuman dengan hanya melihatnya? Bahkan aku tak percaya men...