Prolog

882 47 17
                                    

Ini minggu pagi yang cerah. Namun, tidak sama halnya dengan raut wajah Rean yang kusut bagaikan kelindes truk. Hari ini adalah hari pertandingan futsal SMA-nya dalam mengikuti kejuaraan. Sebagai kapten tim futsal, pastilah ia harus datang lebih cepat untuk bertemu dan diskusi dengan manajer serta pelatihnya terlebih dahulu.

        Ia memakai baju kesebelasan sekolahnya, lalu memperbaiki penampilan rambutnya yang menurutnya masih kurang acak-acakan. Setelah semuanya dilakukan, kini ia hanya tinggal memakai sepatu bola terbaiknya. Rean mengecek keberadaan sepatu itu, namun raib. Ia mendecak kesal. Sepertinya adik bungsunya ini berhasil menghancurkan mood pagi harinya yang keren. Siapa lagi kalau bukan dia pelakunya?

        "KIARAA! Sepatu gue lo kemanain?!"

         Tidak ada jawaban sama sekali dari orang yang disahut. Melihat adiknya, Thomas, atau yang biasa dipanggil Tom, Rean segera beranjak dari sofa dan menghampirinya yang sedang memberi makanan kucing peliharaan Kiara. Memang adiknya yang ini sangat perhatian kepada segala hal, kecuali dalam urusan percintaan.

        Tom yang menyadari keberadaan Rean menyapanya. "Eh, pagi-pagi lo mau lomba?"

        Rean tidak menghiraukan sapaan Tom. Ia hanya memperhatikan kucing tersebut. Kucing peliharaan Kiara, dinamakan Jerry. Ya, sebenarnya niatan Kiara bukanlah untuk mengejek nama kakaknya, namun karena dia sangat menyukai nama Jerry. Baginya, nama Jerry itu mirip dengan jeli kesukaannya. Meski begitu, sepertinya nama Jerry menjadikan suatu chemistry dengan Tom.

        Rean ikut duduk di lantai, menyetarakan tingginya dengan Tom melihat Jerry bersiap makan. "Liat Kiara, gak?"

        "Gue gak liat, Re,"

        "Emang siapa yang nanya ke lo? Gue nanya ke Jerry, kok,"

        Kadang kakaknya Tom yang hanya beda empat jam kelahirannya ini memang sering minta digaplok. Menurut Tom, seharusnya keluarganya bersyukur mempunyai anak tengah yang memiliki tingkat kesabaran tinggi sepertinya. Jika tidak, mungkin saja dari dulu Tom sudah kabur dengan Jerry.

        "Kalo menurut gue, sih. Relain aja sepatu lu, Ren. Pulang-pulang lomba juga doi balik," saran Tom.

        Meski sedikit tidak rela, tapi ada benarnya juga. Lagipula, tidak mungkin, kan, Rean menunggu sepatu futsalnya balik? Bisa saja ia telat karena terlalu lama. Rean menarik napas dalam.

        "Tom, gua laper," ucapnya, niatnya sih minta dibikinin mie.

        "Kalo laper ya makan, kok curhat ke gue," bales Tom sinis. Rean memasang tampang kaget.

        "Durhaka ya lo sama kakak sendiri," lalu Rean dengan dramatisnya seperti orang yang tersakiti.

        Tom memutar bola matanya, dan dalam hati ia mengucapkan istigfar kepada kakaknya yang otaknya sudah geser. Maklum, sepertinya otak Rean sudah terkontaminasi dan full memory karena program akselerasi yang dijalaninya.

        Rean lalu berjalan menuju meja makan. Bukannya makanan yang dihidangkan, namun selembar post-it yang tertempel tudung saji. Tulisan adik bungsunya yang saking jahilnya kadang bikin ngangenin. Oh, tumben sekali Rean jujur.

        Kak Re, Kak Tom, Kiara lagi beli bubur di warung langganan depan kompleks. Pas lo lagi baca ini, berarti Kiara lagi dalam perjalanan menuju ke rumah. Jagain depan pintu, awas ye gue ngetok gak dibuka. -Kiara

        Tepat setelah membaca pesan tersebut...

        BRAKK! BRAKK!

        Pintu rumah digedor dengan sangat heboh, Rean mengira kalau pintu tersebut berusaha didobrak. Ia segera membuka pintu dan anehnya, Kiara tidak tampak merasa bersalah karena menggedor dengan sangat sadis. Kia tampak tersenyum manis---bagi Rean, itu senyum sok manis---sambil menenteng bubur di tangannya.

[UN]TouchableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang