6 ♣ First Step

285 28 25
                                    

Kiara mengembuskan napas lega ketika sudah berada di halte, meski hampir telat. Ini semua karena ulah kedua kakaknya yang menyebalkan, membuat dirinya terperangkap dalam kondisi rumah yang menegangkan. Bayangkan saja, Rean dan Tom dengan seenaknya pergi dengan alasan Rean akan piket dan Tom menjemput pacarnya. Meninggalkan Kiara seorang diri dengan kedua orangtuanya.

        Melihat Alva tengah merokok, Kiara segera menghampirinya. "Hai, hari ini ada PR gak?" sebuah pertanyaan yang sangat mencerminkan seorang pelajar teladan.

        Cowok tersebut segera menjatuhkan dan menginjak rokok yang awalnya ia hisap. "Kalau ada pun, gue jamin lo gak bakal bisa ngerjainnya," ia menyeringai, membuat Kiara semakin kesal. Padahal, baru saja ia bertingkah seolah tidak-terjadi-apa-apa dan Alva memperburuk semuanya.

        Pegal menunggu, Kiara pun duduk di bangku sambil memandang jalanan yang dilalui kendaraan bermotor. "Kenapa lo gak bawa mobil atau motor, Va?"

        Alva melirik gadis tersebut. "Buat apa?"

        Kiara balas menatap heran. "Biasanya kan kalo berandalan bawa mobil atau motor ya?"

        Mendengar itu, Alva kembali menyeringai. "Merhatiin gue nih? Pengen tau banget?" godanya, membuat Kiara lantas manyun.

        "Bodo amat deh sama lo." ucap Kiara ketus, sedangkan Alva tersenyum senang melihat gadis itu kesal. "Oh ya, gue gak kenal Zane?"

        Senyum Alva pudar.

        "Lo bilang buat gak berurusan sama mereka, kan? Emang temen-temennya Zane siapa aja?" kini Kiara berbicara panjang.

        Rahang Alva mengeras, ia memejamkan matanya. "If I tell you, you won't believe me."

        Kiara balas menatap aneh Alva. "Why won't I believe in you?"

        Secercah harapan muncul di hati Alva.

        "Nanti gue kasih tau." balas Alva sambil tersenyum, tepat saat bus berhenti di depan mereka.




♣♣♣


Tatapan tajam penuh selidik itu mampu mengintimidasi sebagian besar murid di kelas. Perlu penekanan pada sebagian besar murid, karena bagian kecilnya tidak peduli sama sekali. Bahkan sudah menjadi makanan sehari-hari.

        Jangan contoh Alva. Kiara tahu sekali bahwa seharusnya bisa datang tepat waktu ke sekolah. Entah bagaimana ceritanya, ia selalu saja masuk ke kelas terlambat. Dengan berbagai karangan alasan yang ia buat. Menurut Kiara, seharusnya cowok tersebut masuk jurusan bahasa saja karena ia pandai mengarang.

       Kembali pada topik guru killer itu. Ini sedang pelajaran kimia; mata pelajaran yang tidak disukai Kiara. "Siapa yang tidak mengerjakan tugas?!"

        Kiara menggigit bibir bawahnya. Tugasnya belum selesai, terlebih itu enam puluh soal essay. Memang benar, pasti Kiara tidak bisa mengerjakannya hingga tuntas.

        Cewek tersebut melirik teman sebangkunya yang sedang asyik mengobrol lalu tertawa. Bisa-bisanya ketawa pas mau dimarahin, batin Kiara.

[UN]TouchableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang