15 ♣ Reason

342 13 5
                                    

All Time Low - Old Scars/Future Hearts

"I won't fade away.

I am lost inside this endless haze of life.

But this life is mine to live."


 ♣ BAB 15: REASONS ♣


Kelas sebelas adalah masa-masa di mana kalian sudah tidak akan merasa seperti junior yang selalu ditindas senior. Masa-masa di mana kalian sudah bisa beradaptasi, memakai ikat pinggang kurang dari tiga senti, kaus kaki tidak sepanjang mata kaki, dan sepatu tidak lagi wajib hitam. Jika kalian bertanya apakah senioritas di SMA ini sangat terkenal, maka jawabannya memang iya.

        Kiara merasa, perubahan pada dirinya tidak harus seekstrim penyamaran saat kelas sepuluh. Ia tidak lagi harus menguncir dua rambutnya, karena bisa menghambat kegiatannya di ekskul teater yang mengharuskan setiap anggota untuk percaya diri dan setidaknya, memiliki popularitas.

        Andaikan saja mereka tahu yang sebenarnya tentang Kiara. Ah, tapi itu jangan.

        Kali ini, ia kembali melihat papan pengumuman. Kiara memang sengaja datang lebih pagi, karena para peserta MOS tidak akan menyesakkan papan jika pagi-pagi sekali. Ia mendapati dirinya berada di kelas XI IPA-1, bersama dengan Alva, Ressa, Vio, Naya, Zane, Sandy, dan beberapa komplotan Alva seperti Rendhi, Gema, Arsyad, untuk kesekian kalinya.

        Jangan tanya mengapa bisa terjadi seperti ini, karena Kiara sendiri tidak tahu. Satu hal yang Kiara ingat adalah ia tidak akan bisa menemukan nama kakaknya lagi, Rean, di papan pengumuman ini mengingat ia telah lulus dan diterima beasiswa di kampus impiannya. Meski begitu, sebenarnya nilai Rean sempat turun hingga buruk sekali. Kiara tahu itu karena... Ah, sudahlah. Yang terpenting, kini ia harus berhadapan dengan kenyataan bahwa bisa saja Sandy dan Zane menagih utang Kiara karena telah menyimpan rahasia dirinya selama ini.

        "Eh, cantik, sekelas lagi." kadang, Kiara eneg mendengar suaranya. Tapi tak urung, ia sendiri terkadang merasa sepi kalau cowok tersebut hanya diam. "Pagi banget,"

        Kiara menendang tulang kering Alva. "Lo sendiri, pagi. Tapi, masuknya siang. Sama aja bohong," balasnya dengan sengit. Alva hanya tertawa, tawa yang sebenarnya mampu membuat gadis-gadis normal langsung jatuh hati. Sayangnya, hati Kiara itu bagaikan besi, yang sulit sekali diluluhkan.

        Menurut Alva, Kiara itu gadis yang paling susah digapai. Berteman dengan mesra sih, bisa-bisa saja, meskipun pasti Kiara akan melancarkan jurus-jurus bela dirinya beberapa kali. Tapi, Alva sendiri masih belum menemukan rumus untuk mendapat hati Kiara. Bahkan, Alva sendiri berpikir akan lebih mudah mengerjakan soal UN tahun ini daripada mendapatkan hatinya.

        "Tumben ga se-nerd dulu," perkataan Alva sulit dikategorikan sebagai pujian atau hinaan. "Gimana nilai rapot?"

        Jarang sekali anak berandalan seperti Alva peduli dengan nilai rapot. "Lumayan," ucap Kiara, meski ia masih terbayang nilai PKK-nya yang diberi warna merah. 

        Mereka berdua berjalan menyusuri koridor lalu sampai ke tempat tujuan, seperti biasa di taman belakang sekolah. Kiara tahu, pasti Alva akan menemui komplotannya. Tapi kali ini berbeda, Alva justru berhenti melangkah dan mencegat Kiara untuk melihat teman-temannya.

        "Apa sih?" bisik Kiara sebal, tapi ia melihat wajah Alva begitu serius. 

        Alva berbalik, menjadikan tubuh mereka saling berhadapan dengan jaraknya dan Kiara yang sangat tipis. Alih-alih salah tingkah, Alva menempelkan telinganya untuk menguping lebih baik. Kiara pun mengikuti apa yang Alva lakukan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 14, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

[UN]TouchableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang