✔️Chapter 3: Under The Same Roof As One Direction

12.8K 1K 49
                                    

✔️Chapter 3: Under The Same Roof As One Direction



"Ibu! Kenapa kau membiarkan One Direction tinggal di rumah kita?!" Aku menggerutu ketika Ibuku baru pulang dari kantor manajemennya. Aku berusaha mengontrol suaraku agar tidak terdengar oleh mereka yang sedang tidur di dalam kamar. Sekarang jam satu dini hari, tentu saja mereka sudah tertidur. Kecuali aku.

Ibuku menghela nafas lelah, "Sam, tidak bisakah kita bicarakan ini nanti saja? Ibu baru saja pulang, sudah kau recokki dengan gerutuanmu,"

"Tidak untuk saat ini. Bu, bukankah Ibu tahu kalau aku tidak menyukai mereka? Lebih tepatnya aku membenci mereka dan Ibu justru membawa lima orang itu kesini!" Omelku.

"Tenanglah, Sam. Ibu punya alasan kenapa membawa mereka kesini,"

"Alasan apa? Beritahu aku," aku berkacak pinggang, menunggu ibuku memberitahukan alasannya.

"Well, manajemen merencanakan sesuatu untuk meningkatkan publisitas mereka dengan meliburkan mereka tanpa memberi penjelasan pada media, dengan begitu tingkat pendapatan dan penjualan merch, tiket konser, dan lain-lain akan meningkat.

Ibu mengusulkan mereka untuk tinggal di sini karena kebetulan rumah kita punya banyak kamar cadangan untuk ditinggali, sekaligus Ibu ingin kau bisa berteman dengan mereka karena mama merasa kau pasti kesepia-"

"Bu, aku masih punya Callie dan Nico yang bersedia menemaniku kapan pun," potongku.

"Ya, Ibu tahu. Tapi paling tidak, bersikap baiklah pada mereka semua. Kau bisa melakukannya kan?" Tanya Ibuku dengan penuh harap. Aku mendengus kesal, namun tetap mengangguk mengiyakannya, membuatnya tersenyum penuh syukur.

"Thanks, Sam. Kau benar-benar anak yang bisa Ibu andalkan," ia memelukku, "sekarang, kembalilah ke kamarmu dan tidur. Ibu juga harus beristirahat karena besok harus pergi pagi-pagi sekali," aku mengangguk dan tersenyum kecil, setelah ia melepaskan pelukannya.

Setelah Ibu meninggalkanku dengan masuk ke dalam kamarnya yang ada di lantai bawah, aku pun memutuskan kembali ke kamarku juga dan mengunci kamarku.

Aku berjalan ke arah balkon dan membiarkan angin dinginnya menghantam pipiku selagi aku memperhatikan bintang-bintang yang masih betah di atas langit.

"Kau tidak tidur?"

Aku tersentak kaget dan mencari-cari dari mana suara itu berasal, sampai akhirnya pandanganku terhenti pada seseorang yang ada di balkon sebelah. Zayn.

"Insomnia. Kau sendiri?" Aku bertanya tanpa melihat kearahnya.

"Terbangun karena mendengar suaramu mengomel tadi," jawabnya santai, membuatku menunduk malu. Apakah suaraku tadi terdengar sampai ke atas? Padahal aku kan sudah mengontrolnya.

"Uh... Maafkan aku, aku tidak menyangka kalau suaraku bisa sampai terdengar dan membuatmu terbangun..."

"Kenapa kau membenci kami?"

Aku langsung mengedarkan pandanganku kearahnya, terkejut dengan pertanyaannya yang tiba-tiba. Ia memasang ekspresi yang sulit untuk kubaca. Aku menghela napasku pelan.

"You don't wanna know..." Ucapku dengan suara kecil nyaris tidak terdengar. Namun Zayn dapat menangkap ucapanku dan sekarang gilirannya untuk berbalik menatapku.

"Kami bahkan tidak punya salah padamu. Hell, bahkan kami baru hari ini mengenalmu, kenapa kau sudah membenci kami?" Tanyanya lagi sedikit mendesakku.

"A-aku..." Aku berusaha untuk menjawabnya, tapi entah kenapa rasanya sulit sekali untuk mengeluarkan sepatah kalimat untuknya?!

Zayn masih menatap mataku dalam, menunggu jawaban yang akan aku berikan padanya.

Unpredictable [1] z.m. [editing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang