Bab 9 -Terkuaknya Rahasia-

2.6K 98 3
                                    

Syifa melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, kemudian meneruskan langkahnya. Langkahnya terhenti di depan musholla yang terletak di halaman depan sebuah panti asuhan.

Ia sudah berniat akan mengunjungi Panti Asuhan Bunda hari ini. Ia sengaja tidak mengabari mereka sebelumnya karena ingin memberikan surprise.

Anak-anak itu masih mengaji saat Syifa tiba di depan gerbang musholla. Tak ingin mengganggu, Syifa pun memutuskan untuk menunggu mereka di teras musholla. Diam-diam, Syifa merasa iri pada anak-anak itu. Di usia mereka yang masih kecil, mereka sudah ditanamkan bekal akhirat yang banyak. Diajarkan mengaji, bersholawat, bagaimana menjaga sikap yang baik terhadap sesama. Sungguh, ia sangat iri. Diakuinya, ia baru benar-benar bisa mengaji saat memasuku bangku SMP, sholat pun masih sering ia tinggalkan saat itu. Ia bisa berjama'ah dengan orang tuanya hanya saat maghrib tiba, lainnya ia harus sholat sendiri. Itu yang membuatnya malas dan memilih untuk meninggalkan sholat. Ia sangat menyesalinya dirinya yang dulu. Air matanya ingin manetes saja rasanya jika mengingat bagaimana kerasnya hatinya dulu akan agama. Sebagai sahabat, Yunda sering mengingatkannya untuk menjaga sholat lima waktu, sekalipun Yunda sendiri terkadang tidak melakukannya.

"Kak Syifa," panggilan itu menyadarkan Syifa dari lamunannya. Ia segera menghapus air matanya yang sedikit menggenang di pelupuk matanya. Ia segera menoleh ke belakang dan mendapati Dinda tengah berlari menghampirinya. "Kakak kok gak bilang sih kalau mau kemari?" Tanya Dinda antusias. Gadis kecil itu menyibakkan mukenanya ke belakang bahu agar lebih leluasa memeluk Syifa. Syifa hanya tersenyum.

"Kakak kan mau kasih adik-adik kakak ini kejutan," seru Syifa tak kalah antusias. Ia mengacak rambut Dimas yang duduk di sampingnya. Anak-anak itu berkumpul mengelilinginya. "Udah siap ngajinya?"

"Udah kak," jawab anak-anak itu serempak.

"Kak, sini. Kita kenalin kakak ke Bang Iam. Kakak pasti suka deh sama Bang Iam," seru Dinda. Syifa hanya mengernyit lalu tersenyum lagi. Namun, belum sempat Syifa menjawab,

"Adik-adik, PR kalian sudah dikerjakan?"

Syifa seperti mengenal suara itu. Ia segera menoleh ke belakang dan mendapati Ilham berdiri tak jauh di belakangnya.

"Kak, ini Bang Iam. Bang Iam ini yang ajarin kita ngaji kak," seru Dimas. Syifa terperangah, ia tak menyangka kalau Bang Iam yang sering disebut oleh Dimas dan Dinda adalah Ilham, pangeran berkoko putihnya. Syifa pun tersenyum ke arah Ilham dan menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Ilham membalas dengan melakukan hal yang sama.

"Teman-teman, ayo kita kerjakan PR kita. Nanti kita minta ajari. Kak Syifa," seru Dinda yang diiyakan oleh teman-temannya yang lain. Mereka pun berlari ke kamar mereka masing-masing untuk mengambil PR mereka dan meninggalkan Syifa dan Ilham yang masih duduk di teras musholla.

"Ternyata kamu yang namanya Syifa," ujar Ilham membuka percakapan.

Syifa mengangguk. "Kamu tau darimana?"

"Anak-anak itu sering cerita ke aku kalo ada perempuan yang baik dan ramah sama mereka, kata mereka kamu juga ajarin mereka nyanyi," ujar Ilham. Ia menoleh Syifa yang duduk tak jauh di sampingnya. Tampak Syifa tertawa kecil di sana.

"Mereka juga sering ceritain kamu ke aku. Jujur, aku langsung kagum ke kamu dari cerita-cerita mereka. Tapi aku gak nyangka kalo Bang Iam yang sering mereka ceritain itu kamu," ujar Syifa dengan nada ramah.

"Kenapa bisa gak nyangka?" Tanya Ilham mengerutkan dahi. "Aku yakin anak-anak itu bercerita hal baik tentang aku. Apa ada tampang jahat di wajahku?" Tanya Ilham lagi.

Syifa tertawa lepas mendengar pertanyaan Ilham. "Maaf, bukan begitu maksudku. Awalnya aku mengira Bang Iam itu anak ibu Panti yang mengurus mereka disini. Tapi ternyata Bang Iam itu kamu, orang yang ku kenal," jelas Syifa. Ia langsung menarik kesimpulan bahwa Ilham adalah orang yang sensitif.

Hijrah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang