Bab 1

47 1 0
                                    

Untuk yang keempat kalinya Momo berpindah sekolah karena alasan yang sama. Ia tak pernah memiliki teman dan tidak mau berteman. Untuk apa berteman? Ia selalu berpikir seperti itu. Menurutnya semua teman itu sama saja, dimanfaatkan lalu dibuang kembali. Ia bersumpah bahwa ia tidak akan berinteraksi dengan sejenis mereka.

Ia menatap pantulan dirinya di depan kaca yang sudah berbulan-bulan tidak dibersihkan, "Siapa kau?" tanyanya pada dirinya sendiri. Momo tinggal sendiri disebuah kos-kosan kecil dan bekerja paruh waktu untuk membayar tagihan bulanannya. Ayah dan ibunya? Dia sudah tidak peduli lagi pada mereka. Bahkan dimana dan dengan siapa mereka sekarang. Kemudian ia menghela nafas dan mengambil tasnya, bergegas pergi menuju tempat yang ia benci selama kurang lebih enam tahun belakangan ini.

Momo pernah sekali ditawari oleh kepala sekolah untuk ikut dengan bus jemputan supaya tidak terlambat ke sekolah. Ia menolak dengan keras dan berkata bahwa jarak kos-kosan dengan sekolah tidaklah jauh. Selain itu, Momo tidak mau cari masalah dengan anak-anak yang ada di bus itu. Kepala sekolah akhirnya menyerah dan menyetujui keputusan Momo. Gadis itu hampir lepas control ketika kepala sekolah menyinggung-nyinggung status keluarganya, tapi beruntunglah kepala sekolah langsung meminta maaf dan berkata bahwa ia tidak bermaksud berbicara seperti itu.

Selama kurang lebih dua puluh menit berjalan kaki, Momo sampai di depan gerbang sekolahnya. Ia tertawa dalam hati ketika melihat anak-anak saling bergerombol, sementara hanya dirinya yang berdiri sendiri disana. Tanpa teman. Tanpa siapapun. Namun Momo sama sekali tidak peduli, tujuannya kemari hanyalah mendapatkan surat ijazah dan bisa secepatnya berpindah ke tempat dimana ayahnya dilahirkan. Jepang.

Hal pertama yang Momo sangat benci. Ia sangat mencolok.

AliveWhere stories live. Discover now